Di ranah pemberitaan seni di tanah air kerap terjadi perseteruan antara pekerja seni atau dengan wartawan infotainmen. Yang paling hangat saat ini adalah perseteruan antara wartawan infotainmen dari sebuah stasiun televisi dengan Ahmad Dhani, yang dipicu oleh kekesalan Dhani kepada para wartawan yang ingin mencari tahu kebenaran akan ayah dari bayi yang dilahirkan oleh Mulan Jameela, salah satu artis dibawah naungan manajemen yang dikomandoi oleh Dhani. Mulan Jameela sebelumnya telah digosipkan telah nikah sirih dengan Dhani dan menjadi penyebab retaknya rumah tangga Dhani dengan Maia.
Setiap kali terjadi perseteruan antara wartawan infotainmen dengan pekerja seni, di pihak wartawan infotainmen sering mengklaim bahwa tanpa ada infotainmen, seorang seniman bukanlah siapa-siapa dan tidak akan bisa terkenal di kalangan masyarakat. Sebelum kita mengamini atau tidak pernyataan pihak infotainmen tersebut, sebaiknya kita menengok ke belakang sejenak.
Seniman dan seni adalah dua hal yang purba. Artinya seni disadari atau tidak telah dilakukan oleh manusia sebagai salah satu bentuk reaksi untuk tetap bisa bertahan hidup dan menjalankan kehidupan dengan segala aspeknya. Peninggalan-peninggalan purbakala yang sampai saat ini terawat baik di berbagai museum adalah bukti nyata akan purbanya seni. Alat-alat pertanian, perlengkapan-perlengkapan berburu, sarana-sarana ibadah, dan lain sebagainya dapat kita jumpai di dalam museum purbakala.
Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya cara berpikir manusia, seni mengalami banyak perubahan pada wujud dan penambahan pada jenis. Perkembangan seni pulalah yang merangsang manusia untuk mencintai seni lalu menerjunkan diri berkecimpung di dunia seni secara purna. Dari sinilah lalu kian banyak terciptakan karya seni mulai dari lukisan, seni etalase, tarian, tembang, dan lain sebagainya. Dan seiring berkembangnya tekhnologi seni menjadi kian semarak dalam berbagai kreasi.
Dari begitu banyak manusia yang berkecimpung di dunia seni, kemudian muncul karya-karya seni yang mempunyai nilai seni tinggi yang tentu pula membuat penciptanya lebih dikenal oleh masyarakat. Istilah kerennya naik daun atau tenar. Persona-persona yang tengah naik daun atau tenar ini, biasa menjadi pusat perhatian, terutama seniman di bidang hiburan seperti musisi, penyanyi, dan bintang film.
Selanjutnya, bagaimana infotainmen lahir? Infotainmen lahir sebagai wujud dari naluri bisnis dari para pemilik modal. Para pemilik modal yang jeli melihat bahwa dari ketenaran para seniman tersebut, ada sisi lain yang bisa dijual dan mendatangkan keuntungan. Sisi lain itu bisa berupa cara berpakaian, penampilan, biografi, dan privasi. Maka lahirlah apa yang dinamai infotainmen, gabungan dari kata information dan entertainment, yang kalau diartikan menjadi informasi atau berita yang menghibur, dalam bentuk media cetak berupa tabloid dan media elektronik berupa tayangan infotainmen. Infotainmen mulai marak sekitar akhir tahun 90-an pada awal era reformasi. Kelonggaran perizinan penerbitan media pemberitaan, memjadikan infotaimen kian menjamur.
Namun pada kenyataannya, informasi-informasi yang disajikan oleh infotainmen lebih banyak yang bersifat sensasi daripada edukasi. Hanya sedikit yang memberikan informasi tentang hal-hal yang berhubungan dengan karya seni. Infotainmen lebih menonjolkan informasi tentang sepak terjang atau pola laku seniman daripada hasil karya seninya, sehingga kerap informasi yang dikonsumsi publik bersifat negatif dan kurang bahkan tidak bermanfaat sama sekali. Informasi-informasi yang bersifat negatif inilah yang kerap memicu persengketaan antara seniman sebagai obyek pemberitaan atau narasumber dengan pihak infotainmen. Narasumber merasa dirugikan nama baiknya, sehingga saat berikutnya ketika para wartawan pemburu gosip melanjutkan peliputan, narasumber bertindak keras bahkan terkesan arogan dengan spontanitas untuk melindungi privasinya. Akan tetapi, seperti telah sering terjadi, wartawan-wartawan gosip yang menjadi korban tindak kekerasan tak mau menerima begitu saja, dan akhirnya menjadi bahan berita baru yang kurang pantas dikonsumsi publik. Bahkan berlanjut hingga ke meja hijau, bila jalan damai sulit ditempuh.
Kalau tujuan utama dari infotainmen adalah memberikan informasi-informasi yang dibutuhkan publik tentang kesenian, mungkin para pekerja seni akan “merasa memerlukan” infotainmen sebagai media untuk membantu mempromosikan karya-karya mereka lebih dikenal luas di mata publik. Mereka mungkin akan lebih terbuka dan lebih dapat bekerja sama dengan para wartawan infotainmen sehingga akan terjalin hubungan yang saling menguntungkan dan menimbulkan rasa saling ketergantungan. Hubungan semacam ini sudah tentu akan menciptakan keharmonisan.
Sudah tak terhitung seniman-seniman besar yang telah terkenal pada masanya di Indonesia, sebelum infotainmen marak seperti dewasa ini. Mereka terkenal bukan karena maraknya pemberitaan tentang pribadi mereka, melainkan karena karya-karya bermutu yang lahir dari daya kreasi mereka. Pada era 60-an hingga 80-an jumlah media cetak dan elektronik tak sebanyak sekarang. Publikasi karya-karya mereka sangat terbatas, namun karya-karya mereka masih tetap eksis hingga saat ini.
Di era modern kini, peranan media pemberitan sangat penting, sebagai sarana untuk menunjang kelancaran “menjual” karya cipta, termaksud karya seni. Namun bila informasi-informasi yang disajikan infotainmen lebih sering berupa hal-hal yang negatif dan bersifat pribadi seperti perselisihan ibu dan anak, suami dan istri, perkelahian di bar, perselingkuhan, perceraian, dan isu-isu negatif lain yang dilakukan oleh pekerja seni yang sudah punya nama di kalangan masyarakat, agaknya kita perlu bertanya “benarkah pekerja seni membutuhkan infotainmen?” dan lebih jauh lagi “apakah masyarakat butuh infotainmen?” Pertanyaan berikutnya “apakah masyarakat dapat mengambil manfaat dari informasi-informasi yang diberitakan infotainmen?”
Sebenarnya perseteruan antara pekerja seni atau selebriti dengan wartawan infotainmen bisa dihindari, apabila ada sikap terbuka dan saling memahami diantara keduanya akan posisi dan peranan masing-masing. Pekerja seni yang telah menjadi figur publik hendaknya menjaga tingkah laku keseharian agar tak menjadi bahan berita yang “sangat digemari” oleh wartawan infotainmen, dan wartawan infotainmen hendaknya lebih menfokuskan dan membatasi pada informasi yang bersifat edukasi dan informatif akan seni dan kesenian saja, termasuk proses bagaimana karya seni tersebut diciptakan oleh seorang seniman.
Masyarakat pun hendaknya merubah watak, dari menyukai gosip-gosip negatif akan diri seseorang menjadi anti gosip. Ini memang sulit dilakukan mengingat sifat dasar manusia cendurung menyukai hal negatif dari sesamanya. Hal yang mudah dan mengasyikan untuk digunjingkan adalah keburukan orang lain. Namun berusaha merubah watak tersebut akan lebih baik daripada membiarkan diri terus menerus. Banyak informasi yang lebih bermanfaat yang bisa di dapat dari berbagai media informatika yang bisa diaplikasikan didalam kehidupan sehari-hari, daripada sekedar membaca gosip murahan. Berilah manfaat pada uang yang kita belanjakan dan waktu yang kita luangkan.
Semoga ke depan tak ada lagi perseteruan antara pekerja seni atau selebriti dengan wartawan infotainmen. Biarkan kasus Ahmad Dhani menjadi yang terakhir. Jangan jadikan alasan kebebasan pers untuk menginjak-injak hak privasi seseorang. Bagaimana bila privasi wartawan infotainmen dijadikan bahan berita oleh wartawan lain?
-o0o-
Jakarta, Maret 2011