Penunjuk

Sabtu, 09 April 2011

Dua Rencana Besar dari Sebuah “Rumah”

   Pengantar: Sebenarnya tulisan ini sudah lama saya posting di Kompasiana, namun karena saat ini isu pembangunan gedung dewan mengemuka kembali ke publik maka saya posting di blog sederhana ini. Terima kasih.
   
   Saat ini tengah digulirkan dua rencana besar dari sebuah “rumah”. Dikatakan besar karena akan sangat pengaruh pada bangsa dan negara, dan tingginya biaya yang akan dibutuhkan bila kedua rencana itu terealisasi. Yang pertama dan tengah memanas yakni rencana pembangunan gedung dewan yang baru oleh sebagian anggota dewan. Kedua adalah rencana pemindahan ibukota negara oleh presiden yang notabene ketua dewan pembina partai dimana anggota-anggota dewan yang ngotot agar pembangunan gedung dewan yang baru, berasal.
   Yang menjadi masalah adalah bila kedua rencana besar itu terealisasikan. Gedung dewan baru sudah berdiri namun ibukota di pindahkan ke kota lain, apalagi ke luar pulau Jawa. Karena idealnya gedung dewan berlokasi di ibukota. Akan digunakan untuk apa gedung dewan baru itu yang telah menghabiskan 1,6 trilliun uang rakyat?
   Selayaknya bila para anggota dewan yang berasal dari partai yang dewan pembinanya diketuai presiden, lebih memfokuskan dukungannya untuk rencana presiden yang berniat memindahkan ibukota karena dewasa ini permasalahan yang berkembang di Jakarta sudah amat kompleks dan sangat mendesak untuk diatasi. Kemacetan yang sudah teramat parah di Jakarta bahkan diprediksikan 3 tahun lagi Jakarta lumpuh, banjir yang selalu melanda Jakarta saat musim hujan, dan menumpuknya kegiatan bisnis dan pemerintahan di Jakarta sudah tentu opsi pemindahan perlu dikedepankan.
   Sebagai anggota dewan selayaknyalah bila lebih banyak bekerja untuk kesejahteraan rakyat bukan malah lebih rajin melontarkan wacana yang akan mengundang polemik dan tidak banyak berpengaruh pada meningkatkannya kesejahteraan rakyat.
-o0o-

Jakarta, 19 September 2010

Minggu, 27 Maret 2011

Pesing dan Gelap di Kampung Rambutan

   Saya ingin menulis tentang kondisi terminal Kampung Rambutan sejak lama, karena paling tidak 3 bulan sekali saya mendatangi terminal tersebut saat pulang kampung dan kembali, ke  dan dari Tasikmalaya menengok anak-anak saya. Yang ingin saya tulis adalah kondisi saat malam hari.
   Begitu memasuki area yang diperuntukkan angkutan dalam kota, bau pesing segera menyergap hidung, dan suasana yang lumayan gelap menimbulkan perasaan yang was-was bagi para pendatang yang baru tiba dari luar kota. Saya yang sudah sering mengalami kedua hal tersebut, tetap tak bisa membunuh ketidaknyamanan saya atau membiasakan diri dengan kondisi terminal yang mencerminkan kurang kepedulian terhadap kondisi terminal, baik dari pihak pengelola maupun para awak angkutan yang tiap hari berinteraksi di terminal. Ditambah lagi, bangku-bangku besi yang dulu berjejer di ruang tunggu terbuka kini sudah tak ada lagi dan para pendatang terpaksa duduk di tembok pemisah di pinggir saluran air. Padahal setelah semalaman menempuh perjalanan lumayan jauh para pendatang butuh tempat yang lumayan nyaman untuk melepas lelah sembari menunggu angkutan yang biasanya keluar pool sekitar puku 03.00 dini hari.
   Bisa dipastikan bau pesing itu akibat para awak angkutan yang kencing di ban-ban mobil karena malas ke toilet, karena begitu banyak tersebar bekas-bekas kencing yang terlihat mulai mengering membentuk serupa pulau. Lampu-lampu di tiang tinggi yang ketika baru dibangun dulu, menyala sangat terang, kini tak banyak membantu, karena radius yang terterangi hanya di sekitar tiang akibat redup dan rusaknya lampu-lampu yang terpasang.
   Para pendatang yang tidak memakai jasa taksi dan memilih menunggu hingga angkutan umum datang, seperti saya, karena mungkin khawatir taksi memakai argo kuda, ongkos yang pas-pasan, dan kekhawatiran terjadinya tindak kriminal di dalam taksi. Hal tersebut wajar bila terbersit di benak para pendatang.
   Karena itu, semestinya pengelola terminal Kampung Rambutan lebih memperhatikan lagi kondisi terminal yang tak nyaman tersebut. Sosialisasikan larangan kencing di area lintasan, perbaiki penerangan, dan buat bangku-bangku, adalah hal yang mendesak untuk dilakukan oleh pihak pengelola, karena terminal tersebut adalah salah satu terminal utama di ibukota yang setiap malam selalu banyak pendatang dari daerah-daerah yang terhubung jalur selatan.
   Saya berharap tulisan ini dibaca oleh mereka yang punya akses ke pengelola, sehingga dalam waktu dekat bisa dilakukan perbaikan kondisi terminal, secepatnya. Dan para pendatang tidak lagi disambut dengan pesing dan gelap saat tiba di terminal, dan bisa duduk di kursi yang tersedia saat menunggu angkutan umum keluar pool.
-o0o-

Jakarta, 27 Maret '11

Tulisan ini telah diposkan di Kompasiana

Jumat, 25 Maret 2011

Cara AS Menguasai Ladang Minyak

   AS adalah negara maju, dan untuk mendukung jalannya kegiatan industri agar lancar dan terjaga stabilitasnya, maka AS perlu terus menambah sumber minyaknya. Dengan kekuatan militer yang dimiliki, AS tak perlu bersusah payah mencari dan mengebor sendiri sumber-sumber minyak baru di wilayahnya. Seperti kita tahu, wilayah dibumi yang paling kaya akan minyak adalah di Timur Tengah, maka AS mencari minyak untuk menjaga ketersediaan pasokan minyaknya ke sana.
   Dengan bermodal kecanggihan persenjataan yang dimiliki dan memanfaatkan konflik yang tak pernah berhenti di Timur Tengah, AS lalu mencaplok ladang-ladang minyak di negara-negara yang sedang berkonflik. Walaupun ladang-ladang minyak tersebut berada di wilayah negara lain, namun sesungguhnya AS yang memilikinya. Dengan memanfaat resolusi-resolusi PBB, demokrasi, ham, dan alasan-alasan yang dibuat sendiri, AS bersama sekutu-sekutunya yang tergabung dalam pasukan koalisi, dengan begitu percaya diri tanpa menghiraukan seruan internasional, menyerang negara-negara yang pemimpin-pemimpinnya mulai kurang disukai rakyat. Padahal seperti telah diperkirakan banyak pengamat, tujuan utama invasi AS ke negara-negara yang tengah berkonflik, tidak lain adalah mencari sumber minyak baru.
   Kini ladang-ladang minyak AS sudah tersebar di beberapa negara di Timur Tengah. Di Kuwait untuk mendapatkan minyak sebagai rasa terimkasih, AS memanfaatkan invasi Irak ke Kuwait yang dilakukan Saddam Husein. Di Irak, senjata pemusnah massal dijadikan alasan menyingkirkan Saddam Husein yang kala itu mulai kurang disukai sebagian rakyat Irak. Dan dunia tahu tak ditemukan senjata pemusnah massal di Irak, sebab memang minyaklah tujuan utamanya.
   Dan kini, AS dan sekutunya sedang menggali ladang minyak baru di Libya, atau paling di Libya bagian timur yang sudah dikuasai pihak oposisi yang menentang Khadafy, dengan Benghazi sebagai pusat kota. Di sini AS sedang menciptakan “rasa terimakasih” agar memperoleh sumber minyak baru, dengan memanfaatkan resolusi PBB dan pengamanan zona larangan terbang. Dan indikasi AS akan memperoleh apa yang menjadi tujuan utama dalam tiap intervensi di Timur Tengah, sudah terlihat. Pihak penentang Khadafy bergembira saat Tripoli sebagai basis pro Khadafi diluluhlantakkan oleh Sekutu.
   Cara-cara AS mendapatkan minyak dengan kekuatan militer selalu mendapat sorotan dunia, tapi di balik sifat keras kepalanya, agaknya AS lebih piawai memainkan argumen-argumen dalam penerapan opsi militer, di berbagai forum. Dan sekali lagi masyarakat internasional hanya bisa kesal. PBB tak mampu berbuat apapun bila alasan penyerangan AS tak terbukti seperti di Irak dan Afghanistan.
-o0o-

Selasa, 15 Maret 2011

JK Paling Tenang Hadapi WikiLeaks

   Pembocoran kawat Dubes AS oleh WikiLeaks tentang sepak terjang para petinggi Indonesia yang dimuat oleh dua harian Australia, The Age dan The Sidney Morning Herald, beberapa hari telah membuat gerah penghuni istana negara di Jakarta. Tak kurang beberapa menteri memberikan sanggahan yang bernada pembelaan terhadap atasan mereka. Seperti diberitaka di dua harian Australia tersebut, Presiden Bambang Susilo Yodhoyono telah mengintervensi proses hukum politisi senior PDI-P Taufik Kiemas, dan pemberitaan-pemberitaan lain yang terkesan memojokkan presiden.
   Salah satu petinggi yang diserang WikiLeaks adalah mantan wakil presiden M Jusuf Kalla. Ia diberitakan telah menyuap para peserta munas agar memilih dirinya menjadi Ketum Partai Golkar. Uang yang digelontorkan tak tanggung-tanggung, sebesar 10 milliar rupiah. Namun pada beberapa kesempatan, JK menyanggah sekaligus mengakui kebenaran informasi bocoran WikiLeaks tersebut. Ia mengakui telah mengeluarkan uang untuk para peserta munas partai yang pernah dipimpin tapi bukan untuk membeli suara mereka alias menyuap dan jumlahnya hanya 3 milliar bukan 10 milliar seperti yang diberitakan. Menurutnya sudah menjadi kewajaran dalam partainya pemberian uang tersebut yang digunakan untuk akomodasi dan hotel para peserta munas. Uang 3 milliar yang ia pergunakan pun bukan berasa dari milik pribadi melainkan hasil patungan beberapa simpatisan. Ia berpendapatan hal itu bukan termasuk penyuapan.
   Dari para petinggi yang diserang WikiLeaks, hanya JK-lah yang mampu dengan tenang memberikan penjelasan mengenai pemberitaan yang menyangkut dirinya di waktu lalu. Dengan senyum khasnya ia menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para wartawan, saat baru tiba di Bandara Soekarno Hatta dari kunjungannya ke Jepang. Sebelum ini pun, ia telah memberikan penjelasan yang sama di sebuah media online. Kematangannya ia tunjukan dengan berusaha memberikan penjelasan yang -mungkin- sebenarnya.
   Terlepas benar dan tidaknya sanggahan tersebut, ia telah menunjukkan jiwa besarnya. Pemimpin seperti ini akan mampu mengendalikan situasi  di dalam negeri dan akan dengan cepat melewati isu-isu yang berkembang, yang merugikan rakyat. Sudah sering kali rakyat menjadi korban ketidakfokusan kerja pemerintah. Sebelum pemberitaan bocoran WikiLeaks ini muncul ke ranah publik, rakyat disungguhi isu koalisi dan kisruh PSSI. Dan bila kita merunut ke belakang lagi, sudah berapa banyak isu-isu maupun wacana-wacana yang berakibat pada menurunnya perhatian pemerintah karena sibuk mengurusi isu atau wacana yang tengah memanas.
   Selayaknyalah, setiap pemberitaan yang menyangkut nama baik, ditanggapi dengan kepala dan hati dingin agar tidak tercipta kesan di masyarakat, seolah-olah apa yang telah diberikan benar adanya. Ditanggapi dengan kepanikan, dengan mengerahkan menteri-menteri yang tidak berkompeten untuk berkomentar, malah menguatkan kesan akan kebenaran informasi yang telah terlanjur dikonsumsi publik. Tunjukkan saja bukti-bukti yang akurat untuk menolak tuduhan-tuduhan tersebut, maka akan gugur dengan sendirinya kesan-kesan negatif yang berkembang di masyarakat.
   Rakyat kini sudah cerdas. Bila pemimpin berada pada posisi yang benar, mereka pasti akan membela pemimpinnya, tapi bila sebaliknya, rakyat pun akan bersikap sebaliknya. Janganlah rakyat dibodohi lagi!
-o0o-

Jakarta, 15 Maret '11

Tulisan ini telah diposkan di Kompasiana

Sabtu, 12 Maret 2011

Isu Koalisi Cepatlah Berlalu

   Isu koalisi yang telah menyita perhatian publik, kini mulai mereda. Tanda-tanda keretakan koalisi karena perbedaan tentang perlu tidaknya hak angket pajak di antara mitra koalisi kini akan berakhir, dan sepertinya akan terjadi antiklimaks.
   Kocok ulang koalisi dengan mendepak PKS dan Golkar, serta reshuffle kabinet yang diperkirakan oleh banyak kalangan, urung dilaksanakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Partai Gerindra yang sedianya akan dirangkul kedalam koalisi, juga tak menjadi kenyataan. Artinya telah terjadi kesepakatan baru diantara mitra koalisi. PDI-P yang coba dirayu masuk koalisi juga tak tergoda.
   Semoga dengan demikian isu politik ini akan cepat berlalu dan rakyat tidak dibuat tambah bingung dan tidak terus dirugikan oleh pengesampingan perhatian pemerintah akan kondisi kehidupan mereka saat ini. Bulan ini isu koalisi menghangat dan praktis perhatian para elite di pemerintah maupun di parlemen tertuju pada isu koalisi. Rakyat kembali ditelantarkan. Padahal waktu terus berjalan dan program-program pemerintah belum begitu menyentuh pada perbaikan nasib rakyat. Selalu saja rakyat yang jadi korban, padahal gaji mereka terus dibayar walaupun aktivitas mereka cuma untuk kepentingan mereka sendiri. Kekisruhan mereka ciptakan lalu rakyat terkatung-katung. Satu isu berlalu, muncul isu baru. Begitu terus-menerus hingga rakyat tak terurus.
   Kita bersyukur isu koalisi ini cepat berlalu, dan berharap pemerintah dan parlemen akan fokus dan serius pada tugas masing-masing untuk perbaikan nasib rakyat. Semoga bulan-bulan berikutnya tak akan muncul isu baru, karena isu apapun selalu akan berdampak buruk untuk rakyat. Rakyat akan ditelantarkan.
-o0o-
Jakarta, 12 Maret '11

Tulisan ini telah diposkan di Kompasiana

Jumat, 11 Maret 2011

Semoga Tuduhan Wikileaks Salah

  Beberapa waktu lalu Wikileaks sempat membuat para petinggi negara dari berbagai belahan dunia  kebakaran jenggot dengan membuka banyak kawat diplomatik rahasia dari negara asal para petinggi tersebut, dan hari ini The Age salah satu harian Australia telah membuat gerah beberapa elite di Indonesia, setelah  memuat headline dengan judul Yudhoyono ‘abused power’ yang bersumber dari Wikileaks.
   Dalam laporannya antara lain disebutkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengintervensi kasus korupsi yang dilakukan Taufik Kiemas dengan memerintahkan Jampidsus kala itu Hendraman Supandji untuk menghentikan kasus tersebut, mantan Wapres Jusuf Kalla menebarkan uang dalam jumlah banyak agar terpilih sebagai ketua umum Partai Golkar, dan keluarga presiden memperkaya diri dengan koneksi politiknya. Juga disebut Presiden memanfaat BIN untuk memata-matai lawan politiknya.
   Tentang berita-berita tersebut, telah dibantah kebenarannya oleh para tertuduh. Presiden menbantah lewat Menlu dan juga mengirim nota keberatan ke harian tersebut lewat Kedubes RI di Australia. JK juga telah membantah bahwa ia hanya membayar biaya hotel dan ongkos pulang kepada para peserta rapat Partai Golkar, dan uang yang digunakan pun uang sendiri. Bantahan-bantahan tersebut juga diperkuat oleh pernyataan Dubes AS untuk Indonesia bahwa kawat diplomatik yang dibocorkan oleh Wikileaks tidak benar dan tidak akurat.
   Saat ini para elite Indonesia tengah menjadi sorotan rakyat. Mulai dari kisruh PSSI, isu koalisi, kasus Gayus, dan isu-isu lainnya yang cenderung bernada miring. Bila berita yang dimuat oleh harian Australia itu benar, hancurlah nama para elite Indonesia di mata dunia. Semoga apa yang diberitakan The Age cuma isapan jempol dan hanya mencari perhatian dunia internasional .Biarlah para elite kita negatif di hadapan rakyat sendiri, dunia tak perlu tahu karena kita akan ikut malu.
-o0o-

Jakarta, 11 Maret '11

Tulisan ini telah diposkan di Kompasiana

Mitra Koalisi, Mitra atau Musuh dalam Selimut?

   Didalam sistem kepartaian yang multipartai, menjadi pemenang mayoritas tunggal pada setiap pemilihan umum, hampir tidak mungkin, karena suara para pemilih tersebar buyar ke semua partai peserta pemilu. Karena itu, bagi partai yang memenangi pemilu yang akan memegang kekuasaan, membutuhkan dukungan dari partai-partai lain untuk mengokohkan suara di parlemen, agar program-program kerja yang akan dijalankan dalam pemerintahan nanti berjalan mulus tanpa ganjalan dari partai oposisi di parlemen.
   Di Indonesia setelah memasuki era reformasi juga menganut sistem multipartai, maka membentuk koalisi merupakan sebuah keharusan bagi partai pemenang pemilu. Sebagai partai pemenang pemilu, saat ini Partai Demokrat pun membentuk koalisi beranggotakan Partai Golkar, PKS, PPP, PKB, dan PAN sebagai mitra koalisi, atau lebih dikenal dengan Sekretariat Gabungan (Setgab). Seperti tujuan koalisi pada umumnya, Setgab pun dibentuk untuk memuluskan setiap program yang hendak digulirkan oleh pemerintah yang dinahkodai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono  yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Dengan adanya Satgab, diharapkan suara fraksi pemerintah didukung suara fraksi-fraksi anggota Setgab di parlemen, akan selalu mengungguli suara fraksi-fraksi diluar Setgab yang kerap berseberangan dengan pemerintah atau lebih dikenal dengan oposan. Sehingga program yang diusung pemerintah bisa direalisasikan.
   Namun seiring dengan kondisi negara dan dinamika perpolitikan yang terjadi di tanah air, apa yang menjadi cita-cita Setgab tidak selalu berjalan mulus, baik didalam tubuh pemerintahan yakni di kabinet maupun di parlemen. Menteri-menteri yang berasal dari partai mitra koalisi sering berbeda sikap saat menyikapi suatu isu yang tengah hangat di masyarakat. Dan di parlemen juga kerap terjadi perbedaan suara baik antar fraksi  maupun antar anggota satu fraksi mitra koalisi, sehingga perpecahan suara tersebut sering menjadi duri dalam daging yang mengganggu jalannya pemerintahan. Sehingga ancaman akan mengganti menteri-menteri yang tak sejalan atau menceraikan partai mitra koalisi yang membangkang pun kerap dikeluarkan oleh partai pemimpin koalisi. Perang saudara dalam koalisi yang kini sedang berlangsung disebabkan oleh ketidakkompakkan dalam menyikapi hak angket mafia pajak. Ada dua partai yang setuju dengan hak angket dan empat lain tidak setuju, dengan alasan masing-masing.
   Kalau mau jujur, memutuskan berkaolisi atau beroposisi sebenarnya disebabkan oleh situasi menguntungkan atau tidak untuk partai pada saat itu. Bagi partai dengan perolehan suara menengah ke bawah memutuskan berkoalisi akan lebih menguntungkan karena keberadaan mereka remang-remang. Merapat ke pemerintah akan lebih terlihat keberadaannya daripada beroposisi, karena bisa mengorbitkan anggotanya menjadi menteri yang akan membawahi sebuah kementerian, yang tentu saja bila berhasil dalam merealisasikan program pemerintah, akan berpengaruh kepada pamor partai, yang diharap akan menambah perolehan suara pada pemilu berikutnya. Jadi walaupun kalah di pemilu, namun partai dengan perolehan suara menengah ke bawah mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu yang lebih kelihatan oleh rakyat ketimbang hanya bersuara keras di parlemen bila memilih beroposisi.
   Mengapa bisa terjadi perbedaan pandangan dalam hak angket, juga mungkin isu-isu lain, sesama mitra koalisi? Padahal sebelum dibentuk koalisi telah ditandantangani butir-butir kesepakatan atau semacam aturan main untuk menghindari perpecahan suara saat menjalankan koalisi. Jawabannya adalah karena masing-masing anggota partai masih membawa dan mengutamakan kepentingan partai asalnya. Bagaimanapun, simpati dari rakyat untuk meraih suara pada pemilu mendatang tetap menjadi perhitungan. Alasan-alasan yang dikemukakan, mengapa mitra koalisi berbeda sikap, selalu demi kepentingan rakyat. Padahal ketika mereka mengatakan “demi kepentingan rakyat,” saat itu pula dalam hati mereka mungkin mengatakan “demi kepentingan partai juga.
   Perpecahan suara sesama mitra koalisi juga menjadi indikasi buruknya koordinasi yang dijalankan dalam koalisi, dan kurangnya pemahaman akan kesepakatan yang telah diamini bersama. Namun yang lebih menyebabkan ketidakselarasan dalam koalisi adalah misi masing-masing partai yang disusupkan ke dalam koalisi, sebab koalisi yang pernah ada Indonesia adalah memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, terutama oleh partai dengan perolehan suara pas-pasan atau partai kecil. Koalisi semacam ini lebih menguntungkan partai kecil untuk kepentingan partainya ketimbang untuk kepentingan koalisi.
   Dalam berkoalisi diperlukan ketegasan, bila perlu keotoriteran dari pemimpin koalisi, agar kemitraan yang dibangun menjadi bermanfaat terutama bagi partai pemimpin koalisi demi kelancaran program-program yang digulirkan pemerintah. Bila tidak dibarengi dengan ketegasan, bukannya mendapatkan mitra, berkoalisi malah akan mendatangkan musuh dalam selimut yang akan melemahkan jalannya pemerintahan secara perlahan-lahan.
-o0o-
Jakarta, 11 Maret '11

Tulisan ini telah diposkan di Kompasiana

Rabu, 09 Maret 2011

Ketika Darsem Harus Memakan Simalakama

   Menjadi TKW ke negeri orang bisa jadi sebuah pilihan yang didasari keterpaksaan. Setelah apa yang diharap di negeri sendiri tidak memenuhi harapan. Di negeri dengan tanah amat subur, namun untuk menemukan sesuap nasi, banyak rakyat yang kesulitan. Jarang sekali asap mengepul dari dalam dapur. Bukan karena sudah menggunakan gas, tapi memang tak punya beras untuk ditanak. Bukan karena tak tersedia beras di warung-warung, namun memang tak ada uang untuk membelinya. Dan demi melihat keberhasilan banyak TKW, mereka pun mengikuti langkah para TKW yang telah berhasil.
   TKW yang meraih kesuksesan tak terhitung jumlahnya. Mereka rutin mengirimkan uang untuk keluarga di tanah air, membuat taraf kehidupan keluarga yang ditinggal meningkat lebih baik. Rumah menjadi bangunan permanen, lengkap dengan perabotannya. Namun tak terbilang pula yang gagal, bahkan tak sedikit merasakan kekejaman dari majikan. Tidak mendapatkan gaji yang menjadi haknya, hingga harus tinggal beramai-ramai di kolong jembatan di negara dimana mereka ditempatkan. Mereka terkatung-katung menunggu pemulangan entah sampai kapan.
   Kekejaman yang dialami oleh para TKW pun bermacam-macam jenis. Penganiayaan fisik dan mental. Dipukul benda tumpul, ditikam benda tajam, diguyang air yang baru dijerang, dipentokkan ke tembok, dan entah apalagi hingga tak jarang yang pulang ke tanah air tinggal jasad. Korban pemerkosaan pun tak bisa dihindari. Banyak anak tak berbapak tak mampu ditolak. Pada kasus pemerkosaan hingga melahirkan anak tak berbapak, korban dihadapkan pada dilema. Melapor bisa dihukum rajam karena tak punya saksi, tak melapor menjadi aib yang tak mungkin ditutupi.
   Adalah Darsem, seorang TKW dari Subang, Jawa Barat yang ditempatkan di Arab Saudi, mencoba mempertahankan kehormatannya dari nafsu setan majikannya yang berkewarganegaraan Yaman. Dalam perjuangannya mempertahankan harga diri, sang majikanpun terbunuh di ujung pembela diri. Akibatnya ia divonis hukuman pancung oleh pengadilan di Riyadh pada 6 Mei 2009, namun setelah berkat bantuan Lajnah Islah* dan pejabat Gubernur Riyadh,  hukuman Darsem diperingan menjadi bentuk diyat atau tebusan atas permintaan ahli waris keluarga majikannya. Denda sebesar 2 juta Riyal atau Rp 4,7 milliar. Bila benar terjadi demikian, apa yang dialami Darsem adalah sebuah mimpi buruk. Mimpi ingin mendulang uang di negeri seberang, malah harus kehilangan sejumlah uang yang ia sendiri belum pernah melihat berapa banyaknya. Bermimpi  meraih kesejahteraan , tapi malah kesengsaraan yang didapat. Menghindari mulut buaya, malah diterkam macan.
   Buaya itu negeri ia sendiri. Sebuah negeri yang para pemimpinnya gemar berkoar di tengah rakyat yang sedang lapar. Mementingkan koalisi, padahal yang dibutuhkan penduduk adalah nasi. Pejabat-pejabatnya langsung turun tangan bila sebuah kasus mulai ramai di pemberitaan. Dan macan itu adalah negeri tempat ia hendak mengadu nasib dengan seorang majikan berwatak macan yang telah menyeret dirinya meja hijau, berurusan dengan hukum di negeri yang jauh dari orang-orang yang ia kenal. Pasti keadaan ini membuat pembelaan terhadap Darsem tak maksimal.
   Menjadi sasaran pemerkosaan di Arab Saudi ibarat memakan buah simalakama. Membiarkan diri diperkosa hingga hamil  pun tak akan bisa mengadu, karena ia akan terancam hukum rajam bila tak bisa mengajukan dua orang saksi, walaupun janin yang dikandung bisa sebagai bukti yang tak terbantahkan. Padahal bagaimana mungkin ada pemerkosaan bila saat itu ada dua orang lain lagi di sana. Pemerkosaan terjadi karena tak ada siapapun selain korban dan pelaku. Dan Darsem telah memakan buah simalakama itu. Ia terpaksa memilih pilihan pahit lainnya dari dua pilihan pahit yang ada.
   Kasus Darsem adalah contoh ketidakadilan yang amat nyata, dicolokkan ke mata kita. Seandainya majikannya tak memperkosanya, pembunuhan untuk membela diri itu tak akan terjadi. Di negara yang memakai hukum Tuhan pun keadilan kerap tak dapat ditegakkan. Hakim tak bisa memggunakan nuraninya untuk menggali lebih dalam kasus yang ia sidangkan, guna mencari penyebab mengapa sebuah perkara terjadi. Tanpa sebab tak akan terjadi akibat. Namun sering kali hanya akibat yang dipersoalkan. Dan negara kita sering tak berdaya menghadapi ketidakadilan tersebut. Kekuatan diplomasi kita terasa lemah di mancanegara, sebab negara cenderung berorientasi pada devisa bukan pada pembelaan warga negara. Sudah banyak kasus kita kalah di petarungan diplomatik internasional. Negara kita sering terlambat dalam penanganan kasus yang dialami warga negara di mancanegara. Setelah ramai baru beramai-ramai.
   Beruntung Darsem mempunyai saudara-saudara setanah air yang masih punya sikap empati tinggi, yang dengan ikhlas bahu-membahu mengumpulkan donasi agar terkumpul dana untuk mengenapi donasi yang telah didapat dari para dermawan di Arab Saudi. Karena pemerintah belum dapat dipastikan mau menambah kekurangannya atau tidak sebab masih belum dapat menentukan dari pos mana dana tersebut akan diambil.
   Membayar diyat kepada ahli waris majikan sama artinya dengan melegitimasikan Darsem sebagai seorang pembunuh. Seharusnya pemerintah menyelesaikan kasus Darsem melalui jalur hukum, karena Darsem adalah korban dan tidak seharusnya meminta maaf apalagi membayar diyat, seperti diungkapkan oleh Direktur Migrant Care Anis Hidayah.
   Kita menunggu langkah konkret apa yang akan diambil pemerintah dalam menangani kasus yang  telah menimpa Darsem karena telah memakan buah simalakama.
-o0o-
Lajnah Islah adalah Komisi Jasa Baik untuk Perdamaian dan Pemberian Maaf

Jakarta, Maret 2011

Tulisan ini telah diposkan di Kompasiana

Minggu, 06 Maret 2011

Benarkah Infotainmen Dibutuhkan Pekerja Seni?

   Di ranah pemberitaan seni di tanah air kerap terjadi perseteruan antara pekerja seni atau dengan wartawan infotainmen. Yang paling hangat saat ini adalah perseteruan antara wartawan infotainmen dari sebuah stasiun televisi dengan Ahmad Dhani, yang dipicu oleh kekesalan Dhani kepada para wartawan yang ingin mencari tahu kebenaran akan ayah dari bayi yang dilahirkan oleh Mulan Jameela, salah satu artis dibawah naungan manajemen yang dikomandoi oleh Dhani. Mulan Jameela sebelumnya telah digosipkan telah nikah sirih dengan Dhani dan menjadi penyebab retaknya rumah tangga Dhani dengan Maia.
  Setiap kali terjadi perseteruan antara wartawan infotainmen dengan pekerja seni, di pihak wartawan infotainmen sering mengklaim bahwa tanpa ada infotainmen, seorang seniman bukanlah siapa-siapa dan tidak akan bisa terkenal di kalangan masyarakat. Sebelum kita mengamini atau tidak pernyataan pihak infotainmen tersebut, sebaiknya kita menengok ke belakang sejenak.
   Seniman dan seni adalah dua hal yang purba. Artinya seni disadari atau tidak telah dilakukan oleh manusia sebagai salah satu bentuk reaksi untuk tetap bisa bertahan hidup dan menjalankan kehidupan dengan segala aspeknya. Peninggalan-peninggalan purbakala yang sampai saat ini terawat baik di berbagai museum  adalah bukti nyata akan purbanya seni. Alat-alat pertanian, perlengkapan-perlengkapan berburu, sarana-sarana ibadah, dan lain sebagainya dapat kita jumpai di dalam museum purbakala.
   Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya cara berpikir manusia, seni mengalami banyak perubahan pada wujud dan penambahan pada jenis. Perkembangan seni pulalah yang merangsang manusia untuk mencintai seni lalu menerjunkan diri berkecimpung di dunia seni secara purna. Dari sinilah lalu kian banyak terciptakan karya seni mulai dari lukisan, seni etalase, tarian, tembang, dan lain sebagainya. Dan seiring berkembangnya tekhnologi seni menjadi kian semarak dalam berbagai kreasi.
   Dari begitu banyak manusia yang berkecimpung di dunia seni, kemudian muncul karya-karya seni yang mempunyai nilai seni tinggi yang tentu pula membuat penciptanya lebih dikenal oleh masyarakat. Istilah kerennya naik daun atau tenar. Persona-persona yang tengah naik daun atau tenar ini, biasa menjadi pusat perhatian, terutama seniman di bidang hiburan seperti musisi, penyanyi, dan bintang film.
   Selanjutnya, bagaimana infotainmen lahir? Infotainmen lahir sebagai wujud dari naluri bisnis dari para pemilik modal. Para pemilik modal yang jeli melihat bahwa dari ketenaran para seniman tersebut, ada sisi lain yang bisa dijual dan mendatangkan keuntungan. Sisi lain itu bisa berupa cara berpakaian, penampilan, biografi, dan privasi. Maka lahirlah apa yang dinamai infotainmen, gabungan dari kata information dan entertainment, yang kalau diartikan menjadi informasi atau berita yang menghibur, dalam bentuk media cetak berupa tabloid dan media elektronik berupa tayangan infotainmen. Infotainmen mulai marak sekitar akhir tahun 90-an pada awal era reformasi. Kelonggaran perizinan penerbitan media pemberitaan, memjadikan infotaimen kian menjamur.
   Namun pada kenyataannya, informasi-informasi yang disajikan oleh infotainmen lebih banyak yang bersifat sensasi daripada edukasi. Hanya sedikit yang memberikan informasi tentang hal-hal yang berhubungan dengan karya seni. Infotainmen lebih menonjolkan informasi tentang sepak terjang atau pola laku seniman daripada hasil karya seninya, sehingga kerap informasi yang dikonsumsi publik bersifat negatif dan kurang bahkan tidak bermanfaat sama sekali. Informasi-informasi yang bersifat negatif inilah yang kerap memicu  persengketaan antara seniman sebagai obyek pemberitaan atau narasumber dengan pihak infotainmen. Narasumber merasa dirugikan nama baiknya, sehingga saat berikutnya ketika para wartawan pemburu gosip melanjutkan peliputan, narasumber bertindak keras bahkan terkesan arogan dengan spontanitas untuk melindungi privasinya. Akan tetapi, seperti telah sering terjadi, wartawan-wartawan gosip yang menjadi korban tindak kekerasan tak mau menerima begitu saja, dan akhirnya menjadi bahan berita baru yang kurang pantas dikonsumsi publik. Bahkan berlanjut hingga ke meja hijau, bila jalan damai sulit ditempuh.
   Kalau tujuan utama dari  infotainmen adalah memberikan informasi-informasi yang dibutuhkan publik tentang kesenian, mungkin para pekerja seni akan “merasa memerlukan” infotainmen sebagai media untuk membantu mempromosikan karya-karya mereka lebih dikenal luas di mata publik. Mereka mungkin akan lebih terbuka dan lebih dapat bekerja sama dengan para wartawan infotainmen sehingga akan terjalin hubungan yang saling menguntungkan dan menimbulkan rasa saling ketergantungan. Hubungan semacam ini sudah tentu akan menciptakan keharmonisan.
   Sudah tak terhitung seniman-seniman besar yang telah terkenal pada masanya  di Indonesia, sebelum infotainmen marak seperti dewasa ini. Mereka terkenal bukan karena maraknya pemberitaan tentang pribadi mereka, melainkan karena karya-karya bermutu yang lahir dari daya kreasi mereka. Pada era 60-an hingga 80-an jumlah media cetak dan elektronik tak sebanyak sekarang. Publikasi karya-karya mereka sangat terbatas, namun karya-karya mereka masih tetap eksis hingga saat ini.
   Di era modern kini, peranan media pemberitan sangat penting, sebagai sarana untuk menunjang kelancaran “menjual” karya cipta, termaksud karya seni. Namun bila informasi-informasi yang disajikan infotainmen lebih sering berupa hal-hal yang negatif dan bersifat pribadi seperti perselisihan ibu dan anak, suami dan istri, perkelahian di bar, perselingkuhan, perceraian, dan isu-isu negatif lain yang dilakukan oleh pekerja seni yang sudah punya nama di kalangan masyarakat, agaknya kita perlu bertanya “benarkah pekerja seni membutuhkan infotainmen?” dan lebih jauh lagi “apakah masyarakat butuh infotainmen?” Pertanyaan berikutnya “apakah masyarakat dapat mengambil manfaat dari informasi-informasi yang diberitakan infotainmen?”
   Sebenarnya perseteruan antara pekerja seni atau selebriti dengan wartawan infotainmen bisa dihindari, apabila ada sikap terbuka dan saling memahami diantara keduanya akan posisi dan peranan masing-masing. Pekerja seni yang telah menjadi figur publik hendaknya menjaga tingkah laku keseharian agar tak menjadi bahan berita yang “sangat digemari” oleh wartawan infotainmen, dan wartawan infotainmen hendaknya lebih menfokuskan dan membatasi pada informasi yang bersifat edukasi dan informatif akan seni dan kesenian saja, termasuk proses bagaimana karya seni tersebut diciptakan oleh seorang seniman.
   Masyarakat pun hendaknya merubah watak, dari menyukai gosip-gosip negatif akan diri seseorang menjadi anti gosip. Ini memang sulit dilakukan mengingat sifat dasar manusia cendurung menyukai hal negatif dari sesamanya. Hal yang  mudah dan mengasyikan  untuk digunjingkan adalah keburukan orang lain. Namun berusaha merubah watak tersebut akan lebih baik daripada membiarkan diri terus menerus. Banyak informasi yang lebih bermanfaat yang bisa di dapat dari berbagai media informatika yang bisa diaplikasikan didalam kehidupan sehari-hari, daripada sekedar membaca gosip murahan. Berilah manfaat pada uang yang kita belanjakan dan waktu yang kita luangkan.
   Semoga ke depan tak ada lagi perseteruan antara pekerja seni atau selebriti dengan wartawan infotainmen. Biarkan kasus Ahmad Dhani menjadi yang terakhir. Jangan jadikan alasan kebebasan pers untuk menginjak-injak hak privasi seseorang. Bagaimana bila privasi wartawan infotainmen dijadikan bahan berita oleh wartawan lain?
-o0o-

Jakarta, Maret 2011

Tulisan ini telah diposkan di Kompasiana

Selasa, 01 Maret 2011

Nurdin Halid Mestinya Belajar dari Kemelut di Timur Tengah

   Kemelut di PSSI kian hari kian memanas dan menjadi berita yang tak kalah menyitanya perhatian khalayak dengan isu setgab atau koalisi yang kini memasuki babak baru dengan segala kemungkinan yang akan terjadi akibat perbedaan pandangan di antara sesama anggota koalisi. Kekisruhan di PSSI juga menyita ruang perhatian khalayak akan memanasnya situasi di Timur  Tengah yang ditandai dengan turunnya beberapa pemimpin negara yang mulai kurang disukai oleh rakyatnya
   Demonstrasi-demonstrasi yang kini kian marak dilakukan oleh masyarakat yang cinta sepakbola dan prihatin dengan kondisi persepakbolaan nasional, akhirnya memaksa Nurdin Halid sang ketua umum PSSI mengeluarkan pernyataan di forum lain yakni forum yang berkenaan dengan koperasi dimana ia juga menjadi ketuanya, bahwa ia akan terus berjuang demi harkat, martabat dan nama baik statuta PSSI. Ia bahkan menuduh ada pihak yang menunggangi demonstrasi-demonstrasi yang sampai hari ini masih terus digelarkan di seluruh tanah air, yakni oleh kelompok sosialis dan kapitalis.
   Pada umumnya masyarakat tak mengerti tentang statuta baik statuta PSSI terlebih statuta FIFA, kecuali para pemerhati persepakbolaan. Masyarakat hanya mengira-kira bahwa statuta tak ubahnya sebuah peraturan yang diberlakukan di persepakbolaan. Seperti halnya peraturan pada umumnya, statuta dibuat dengan sebuah tujuan agar segala mekanisme yang akan dijalankan di tubuh PSSI berjalan dengan benar dan selaras dengan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan sesuai dengan statuta organisasi persepakbolaan yang lebih tinggi derajatnya yakni FIFA, sehingga perkembangan dan iklim persepakbolaan nasional akan tumbuh dengan baik dan berlangsung dengan sehat.
   Pernyataan Nurdin Halid perihal statuta PSSI menyiratkan sepertinya hanya ia sendiri yang paham tentang statuta PSSI. Ia lupa, elemen-elemen masyarakat yang menghendaki ia mundur juga tak sedikit yang berasal dari para kaum cendikia yang memahami persepakbolaan, dan orang-orang internal PSSI yang mengingin perubahan mendasar di tubuh PSSI.  Mereka  pasti paham betul akan statuta PSSI.
   Ngototnya Nurdin Halid bertahan sebagai ketua umum PSSI mengingatkan kita kepada sikap keras kepalanya para pemimpin negara di Timur Tengah untuk terus bertahan padahal rakyat mereka sudah tak menyukainya. Ben Ali dan Husni Mubarak akhirnya  mundur dan hengkang dari negaranya setelah merasa tidak ada lagi peluang atau sesuatu yang mendukung keduanya untuk bertahan sebagai presiden. Sikap Ali dan Mubarak yang dengan terpaksa mengundurkan diri menyelematkan negara dari perpecahan. Namun tidak demikian dengan Khadafi, ia telah menghancurkan negara yang dipimpinnya melalui kudeta saat ia berpangkat kapten terhadap Raja Idris, dengan sikap “keterlaluan”nya.
   Khadafi memerintahkan tentara loyalisnya untuk menyerang para demonstran sehingga mengakibat banyak korban tewas dari pihak demonstran. Kekejaman Khadafi ini menjadi bumerang bagi dirinya. Libya bagian timur yang tentara-tentaranya tak mengindahkan perintah Khadafi karena lebih mencintai negara mereka, akhirnya jatuh ke pihak oposisi lalu menyatakan diri berpisah dari Tripoli.
   Lalu apakah bagaimana sikap Nurdin Halid menyikapi situasi di PSSI dan aksi masyarakat? Akankah ia meniru Ali dan Mubarak yang biarpun dengan hilang muka akhirnya mundur dan selamatnya Tunisia dan Mesir dari perpecahan, atau akan meniru Khadafi yang amat keras dan kejam menghadapi rakyatnya yang berakibat pada pecahnya Libia menjadi timur dan barat?
   Kita tentu mengharapkan sikap yang bijak dan mau bekorban dari diri Nurdin Halid. Bila ia benar-benar mencintai sepakbola nasional pada khususnya dan Indonesia pada umumnya, karena PSSI dibentuk sebagai salah satu alat perjuangan bangsa di kancah olahraga, tentu ia akan memilih cara Ali dan Mubarak. Namun bila jabatan sebagai ketua umum PSSI ia pergunakan untuk meraih ambisi pribadi dan bukan sebagai pengabdian pada apa yang dicintainya, mungkin ia akan memilih cara Khadafi. Bila cara terakhir yang dipilihnya, bisa jadi akan ada pengurus PSSI baru atau tandingan yang dibentuk oleh para petinggi PSSI sebagai akibat bentuk ketidakpuasan dan kekecewaan mereka dengan pengurus PSSI di bawah kepemimpinan Nurdin Halid atau kubu Nurdin Halid.
   Bukan pengurus tandingan bukan sesuatu yang baru di Indonesia. Di perpolitikan nasional hal itu sudah sering terjadi. Orang-orang yang merasa kecewa karena penyaluran inspirasi tak berjalan baik maka kelompok orang ini membentuk partai anak dan memisahkan diri dari induknya. Walaupun pada akhirnya justru perolehan suara mereka menjadi turun di pemilu dan kekuatan suara menjadi lemah di parlemen. Ini akibat tidak adanya saling pengertian dan mementingkan ego masing-masing. Tujuan perjuangan diabaikan, sehingga perpecahan tak dapat dielakkan.
   Seperti rakyat di Timur Tengah, demonstrasi yang digelarkan oleh banyak elemen masyarakat Indonesia yang menuntut adanya revolusi PSSI, bertujuan agar tercipta “sesuatu yang sangat berarti” pada persepakbolaan nasional mengingat prestasi-prestasi timnas  kurang maksimal. Kita ingin timnas menjadi kebanggaan setidaknya di kawasan asia tenggara. Demonstrasi ini sebagai reaksi wajar atas kekecawaan yang sudah lama terpendam. Maka bila Nurdin Halid menuduh demonstrasi ditunggangi oleh kelompok sosialis dan kapitalis, ini merupakan tuduhan yang keji dan diluar nalar. Tapi kita mesti maklum dengan tuduhan yang dilontarkannya itu. Biasanya orang akan menggunakan cara lain untuk bertahan bila cara legal formal sudah tertutup. Bukankah Komisi Pemilihan dan Komisi Banding telah membatalkan pencalonan dirinya untuk periode mendatang hingga kisruh di tubuh PSSI berakhir dan situasi di tengah masyarakat membaik.
   Tak ada gading yang tak retak. Bila Nurdin Halid mau belajar memahami peribahasa tersebut, ia pasti akan dengan legowo meninggalkan kursi ketua umum PSSI yang pernah ia duduki dari balik terasi besi, untuk ia persilahkan personal-personal lain untuk mendudukinya melalui mekanisme yang telah disepakati bersama. Masyarakat tetap akan mengenang ia sebagai mantan ketua umum PSSI dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Seperti mantan presiden Soeharto yang dengan legowo meninggalkan kursi kepresidenan setelah menyadari dukungan terhadap beliau tak memungkinan bertahan sebagai presiden. Dan lihatlah saat  beliau wafat, jutaan rakyat menangisi kepergiannya. Sisi-sisi jalan sesak oleh rakyat yang hanya ingin menyaksikan peti yang membawa jasadnya lewat. Saat itu rakyat hanya ingat jasa-jasanya dan melupakan dosa-dosanya. Bahkan rakyat yang tumpah ruah seakan merindukan suasana saat beliau masih menjadi presiden.
   Kalau dicermati, tak ada perbedaan mendasar pada tujuan demonstrasi di seluruh Indonesia, yakni revolusi PSSI artinya Nurdin Halid turun dari kursi ketua umum organisasi yang menaungi persepakbolaan nasional ini. Ini berarti kemungkinan terjadi perpecahan karena beda agenda di tengah masyarakat yang menggelar demonstrasi, sangat kecil, bahkan bisa dikatakan tidak akan terjadi. Bila Nurdin Halid saat ini turun maka masyarakat akan bersorak gembira menandai diakhirinya demonstrasi selama ini. Dan mungkin masyarakat akan mengenang jasa-jasa di persepakbolaan nasional, bukan mengenangnya sebagai ketua umum PSSI yang kontroversional.
   Kita tentu tak menghendaki terjadi “gol bunuh diri” di tubuh PSSI. Jangan sampai karena bersikukuhnya Nurdin Halid untuk terus memainkan bola panas PSSI ini, menyebabkan kakinya kepanasan lalu sembarangan menghalau bola hingga bola itu merobek gawang PSSI bahkan membakarnya. Akibatnya bukan Nurdin Halid saja yang merasakan akibat malu karena “gol bunuh diri” tersebut, bahkan masyarakat pencinta sepakbola khususnya dan rakyat Indonesia pada umunya.
   Masih ada waktu buat Nurdin Halid untuk menjernihkan pikiran agar bisa dengan bijak walaupun terlambat, memahami situasi yang sedang berkembang, lalu ia dengan ikhlas atau legowo turun dari kursi ketua umum, kemudian mempercayakan pada mekanisme yang berlaku untuk kembali memilih ketua umum baru, walaupun tak menjamin ketua umum baru akan mampu membawa perubahan persepakbolaan nasional, setidaknya perhatian pada dirinya berakhir dan konsentrasi pembinaan akan difokuskan untuk hal lebih penting yakni peningkatan persepakbolaan nasional. Jangan sampai terlambat mengambil keputusan akhirnya “rakyat sepakbola” menjadi korban.
   Masih mending kalau yang terjadi gol bunuh diri hanya malu yang didapat, tapi bila akibat lebih fatal dengan matinya persepakbolaan nasional karena frustasi yang memuncak, maka semua rakyat Indonesia akan mengutuknya, seperti Khadafi yang dikutuk dunia internasional karena membunuh dengan keji rakyatnya sendiri.
-o0o-

Jakarta, 01 Maret '11

Tulisan ini telah diposkan di Kompasiana

Senin, 28 Februari 2011

Pengalaman Membeli Shar-e di Bank Muamalat

   Keinginan saya untuk memiliki rekening di Bank Muamalat pada mulanya disebabkan seringnya saya menonton acara tentang bank syariah di sebuah stasiun televisi swasta nasional yang disponsori oleh Bank Muamalat yang ditayangkan sekali dalam sepekan. Semakin sering saya menonton acara tersebut, keinginan untuk memiliki rekening di bank syariah pertama di Indonesia tersebut semakin bertambah.
   Sebenarnya pada awalnya saya kurang yakin dengan profil bank syariah yang sering ditayangkan di acara tersebut terutama tentang bagi hasilnya. Saya berfikir, paling itu cuma cara bank tersebut untuk menggaet nasabah seperti bank kovensional. Bagi hasil menurut saya hanya istilah lain dari bunga. Biar lebih terkesan halal maka digantilah istilah bunga dengan bagi hasil. Tapi demi memuaskan rasa penasaran saya, akhirnya sayapun membuka rekening dengan cara membeli sebuah produk tabungan di bank syariah terbesar tersebut dengan nama Shar-e.
   Saya mengalami kebingungan saat membeli produk Shar-e tersebut. Produk tersebut saya beli dengan harga Rp 125.000,-. Dengan harga tersebut saya memperoleh sebuah kartu atm Shar-e dan saldo rekening Rp 100.000,-. Yang membuat saya bingung adalah saya tidak diberi buku rekening seperti di bank konvensional pada umumnya dan saldo saya hanya Rp 100.000,- padahal saya menyetor Rp125.000,-. Saya memang tidak menanyakan alasan tidak diterbitkannya buku tabungan kepada pihak bank, sampai sekarang. Untuk mengetahui catatan-catatan transaksi, oleh pihak bank saya diperbolehkan meminta data dari bank dalam bentuk cetakan komputer tanpa dipungut biaya.
   Namun supaya praktis, 4 bulan kemudian saya minta diterbitkan sebuah buku tabungan. Yang memberatkan adalah saya dikenai biaya sebesar Rp25.000,- untuk buku tabungan tersebut. Saya cukup kaget saat saya harus membayar biaya penerbitan buku tabungan tersebut, tapi demi kenyamanan dan kejelasan setiap transaksi yang akan saya lakukan selanjutnya, saya pun harus merelakan lagi Rp25.000,- kedua setelah yang pertama pada saat awal saya membuka rekening dengan cara membeli produk Shar-e tersebut.
   Pada saat saya membuka rekening, biaya administrasi bulanan rekening tersebut sebesar Rp3.500,-  namun sejak Juni 2009 biaya administrasi terebut mengalami kenaikan menjadi Rp7.500,-. Kenaikan yang cukup besar, hampir 100%. Alasan kenaikan tersebut antara lain biaya perawatan mesin atm yang kian tinggi sebab atm Shar-e bisa digunakan di hampir semua mesin atm milik bank lain yang ada di Indonesia tanpa dipungut biaya. Jadi nasabah tak perlu repot mencari atm Bank Muamalat saat memerlukan tarik tunai bila tak didapati atm Bank Muamalat di suatu tempat.
   Kini setelah hampir 2 tahun saya menabung di bank syariah yang mengklaim pertama murni syariah tersebut, saya baru mulai merasakan manfaat mempunyai rekening di bank syariah. Bagi hasil dengan persentase 35 : 65 mulai saya nikmati. Biaya administrasi bisa tertutupi dengan bagi hasil yang saya peroleh setiap bulan. Bahkan kini biaya administrasi sudah tak ditampakkan, yang nampak langsung bagi hasil bersih yakni bagi hasil dikurangi biaya administrasi.
   Bagi hasil di bank syariah lumayan menjanjikan. Saat biaya administrasi Rp 3.500,- dan saldo tabungan sekitar Rp 2.000.000, saya memperoleh bagi hasil sekitar Rp 5.000,- dan saat biaya administrasi Rp 7.500,- dan saldo tabungan sekitar Rp 5.000.000,- bagi hasil yang dibukukan sekitar Rp10.000,-.
   Kini saya merasa lebih yakin akan memperoleh manfaat lebih dari sekedar materi duniawi yakni ketenangan batin. Sebab saya yakin di bank syariah tersebut tidak menginvestasikan dana para nasabah pada jenis-jenis usaha yang tidak dihalalkan dalam syariat Islam.
   Hal lain yang membahagiakan saya adalah saat seseorang memasuki kantor bank syariah tersebut disambut dengan senyuman dan sapaan yang luwes, penuh kekeluargaan dan tidak kaku. Senyum senantiasa menyimpul di setiap bibir pegawai bank syariah tempat saya menabung. Sungguh menyejukkan hati.
   Menabung di bank syariah lahir kuat bathin pun sehat.
-o0o-

Jakarta, 29 Nov '10

Tulisan ini telah diposkan di Kompasiana

Jumat, 25 Februari 2011

Usul Orang Kecil Atasi Kemacetan di Ibukota

   Katanya beberapa tahun ke depan Jakarta akan mengalami kelumpuhan. Lumpuh yang saya tahu artinya tidak bisa berjalan. Sebenarnya yang lumpuh bukan Jakarta-nya tapi kendaraan-kendaraan yang melintasi jalan-jalan di Jakarta karena sudah tak ada ruang lagi yang dapat dilalui. Akibatnya seluruh aktifitas yang dilakukan warga Jakarta akan terhenti karena mobilitas amat sangat lambat. Bayangkan kalau seluruh aktifitas hanya bisa dilakukan secara manual alias jalan kaki karena kendaraan yang tak dapat dijalankan?
   Untuk mengatasi masalah kelumpuhan di Jakarta para pemimpin yang mengaku sebagai ahlinya Jakarta telah melakukan berbagai kebijakan sebagai solusi untuk menangani kemacetan yang kian parah agar kelumpuhan yang diprediksikan tak terjadi. Mulai dari busway, subway, blueline, dan monorel. Dari beberapa jenis transportasi massal tersebut hanya busway yang tergolong berhasil dan masih eksis. Yang lainnya au ah…
   Kalau menurut saya yang orang kecil, penyebab utama kemacetan adalah kendaraan pribadi yang jumlah sudah melewati ambang batas dibandingkan dengan penambahan ruas jalan. Kendaraan pribadi hanya mampu memuat 5 hingga 10 penumpang bila memuat penuh. Sedangkan kenyataannya tak semua kendaraan yang melintas di Jakarta memuat penumpang sebanyak itu. Bahkan lebih banyak yang memuat 1 hingga 5 penumpang.
   Yang jadi pertanyaan mengapa pemilik kendaraan pribadi enggan menggunakan angkutan massal? Saya akan gampang menjawabnya karena saya mengalami setiap hari. Naik angkutan massal itu lebih disebabkan keterpaksaan karena murah bagi orang kecil yang tak punya banyak duit seperti saya. Ya namanya juga murah ya saya harus terima fasilitas apa adanya. Panas, asap kendaraan, naik-turun di sembarang tempat, kebut-kebutan sesama angkutan karena berebut penumpang, ngerem mendadak, memotong jalur untuk mempercepat waktu dan menghindari macet tanpa menghiraukan keselamatan penumpang, nyelonong di pintu rel kereta dan lampu merah, copet-copet yang meresahkan penumpang, dan paling bikin kesal adalah penumpang diturunkan sebelum sampai di tempat tujuan. Orang yang punya kendaraan pribadi mana mau mengalami kesengsaraan seperti itu? Mendingan beli kendaraan pribadi bisa lebih nyaman dan aman.
   Saya yakin, sebenarnya pemerintah mengerti dengan baik akan ketidaknyamanan dan ketidakamanan yang telah saya sebutkan di atas. Maka sebagai orang kecil saya mengusulkan perlunya dipenuhi kenyamanan dan keamanan yang biasa dirasakan oleh para pemilik kendaraan pribadi. Caranya?
   Begini, setiap angkutan massal mulai dari angkot, metromini dan sejenisnya, dan bus kota di wajibkan menggunakan ac. Sopirnya harus benar-benarnya orang yang disiplin sehingga tidak akan melanggar peraturan lalulintas. Setiap kendaraan harus dijaga petugas keamanan seorang untuk angkot dan metromini atau sejenisnya, 2 orang untuk bus kota seorang di bagian depan lainya di belakang. Cukup nyaman dan aman, bukan? Dengan begitu diharapkan para pemilik kendaraan pribadi akan beralih menggunakan angkutan massal, dan meninggalkan kendaraan-kendaraan mereka di rumah.
   Peningkatan layanan tersebut sudah barang tentu akan menimbulkan biaya operasional tinggi bagi penyedia angkutan massal dan untuk menutupinya tentu dengan menaikkan tarif, akibatnya penumpang yang terkena dampaknya. Bagi yang berduit itu tak jadi masalah. Nah bagi yang berpenghasilan rendah bagaimana?
   Kini, sebagai orang yang tak punya banyak uang saya mengusulkan perlunya dinaikkan upah minimum regional (umr). Hehehe… Kenapa umr perlu dinaikkan? Karena umr yang saat ini berlaku sudah tak dapat menutupi biaya hidup minimal di Jakarta dengan kata lain umr sekarang tergolong rendah. Hitung-hitungannya begini, makan 3 kali 5000 selama sebulan 450000, kost sebulan 250000, transportasi pergi-pulang 4000 - 8000 sebulan rata-rata 180000, biaya sanitasi dan lain-lain 150000. Sampai di sini sudah mencapai 1.030.000. Lalu untuk biaya sekolah anak, biaya berobat bila sakit, dan biaya lain yang perlu? Kalau harus menambah pengeluaran untuk transportasi pasti akan memberatkan warga.
   Kembali ke masalah angkutan massal. Jadi agar warga yang berpenghasilan rendah bisa menggunakan angkutan massal yang telah dibuat nyaman dan aman, pemerintah DKI perlu mengeluarkan perda yang mewajibkan para pengusaha untuk menaikkan umr di komponen transportasi. Saya yakin di pemda banyak ahli yang mahir mengkalkulasikan besarnya komponen transportasi pada umr.
   Pada akhirnya semua pengguna rutin angkutan massal akan berbaur dengan para pemilik kendaraan pribadi yang telah beralih ke angkutan massal yang telah nyaman dan aman. Kendaraan pribadi ditinggalkan dan tidak lagi digunakan pada hari kerja  oleh para pemiliknya. Tentu ini akan mengurangi volume kendaraan di jalan-jalan ibukota secara signifikan. Dampaknya Jakarta akan bebas macet apalagi lumpuh total. Gampang kan? Kalau mengusulkan ya memang gampang. Ya namanya juga usul, ya yang gampang-gampang. Itu saja belum tentu gampang dilaksanakan, apalagi usul yang sulit.
   Membingungkan kan usul saya? Saya sendiri juga bingung. Tapi siapa tahu orang pemda ada yang baca usul saya ini lalu mewacanakannya di lingkungan pemda. Kalau direalisasikan kan saya ikut senang sebab penghasilan saya juga naik. Hehehe…
-o0o-

Jakarta, 18 Oktober 2010

Tulisan ini telah diposkan di Kompasiana

Kamis, 24 Februari 2011

Do’aku di Awal Tahun

Ya Allah Yang Maha Penyayang,
lindungilah bangsa kami dari segala musibah dan bencana,
lindungilah hutan-hutan kami dari para penebang liar,
lindungilah pulau-pulau terluar dari klaim kepemilikan negara tetangga,
lindungilah ikan-ikan kami dari pencurian warga asing,
lindungilah sumber daya alam kami dari penjarahan perusahaan asing.

Ya Allah Yang Maha Pengasih,
jauhkanlah makelar-makelar kasus dari instusi-instusi penegak hukum di negeri kami,
jauhkanlah politikus-politikus hitam dari parlemen kami,
jauhkanlah koruptor-koruptor dari proyek-proyek demi rakyat kami,
jauhkanlah teroris-teroris dari ketentraman kami,
jauhkanlah miras, psk, judi, perampok, copet, hipnotis dari keseharian kami.

Ya Allah Yang Maha Mengetahui,
jadikanlah presiden kami seorang pemimpin yang tegas, cepat, berani,
dan tanpa keraguan dalam mengambil keputusan.

Ya Allah Yang Maha Pemurah,
kabulkanlah do’a hamba-Mu yang banyak dosa ini.


Jakarta, 01 Jan '11

Tulisan ini telah diposkan di Kompasiana

Rabu, 23 Februari 2011

Bersungguh-sungguhlah Akan Agama Anda

   Di kompasiana bertebaran artikel tentang agama dengan beragam tema. Dari yang bersifat edukasi hingga yang berpotensi menimbulkan perdebatan. Yang bersifat edukasi tak jadi masalah karena biasanya mengupas tentang internal agama yang -biasanya- hanya kompasianer dari agama tersebut yang lebih tertarik untuk berinteraksi.
   Namun terhadap artikel yang berpotensi menimbulkan perdebatan, kita sebaiknya berhati-hati. Juga diperlukan pemahaman yang mendalam. Bila tidak, kita akan  tergelincir ke dalam ranah perdebatan yang sungguh sia-sia. Alih-alih hendak berdiskusi malah saling caci maki.
   Saya sendiri memilih hanya membaca bila saya tak memahami dengan baik tema sebuah artikel terutama yang bertema agama. Membaca saja sudah cukup.
   Agama bagi saya adalah sesuatu yang amat terhormat karenanya saya harus menghormati agama saya. Berawal dari rasa hormat saya terhadap agama saya, maka saya pun harus menghormati agama orang lain. Cara saya menghormati agama saya yakni dengan tidak membiarkan imajinasi tumbuh liar dalam menggambarkan Tuhan saya dan berhati-hati menyimpulkan perkataan nabi dan firman Tuhan saya. Tuhan dan nabi menurut saya lebih dari yang saya pikirkan. Cara saya menghormati agama orang lain yakni bersikap masa bodoh dengan ajaran mereka sebab saya memang kurang paham akan agama selain agama saya.
   Agama menurut saya adalah sesuatu yang amat dalam dan luas. Karena itu saya merasa kemampuan berpikir saya tak akan mampu menyelaminya selain hanya menurut pada pengetahuan yang turun-temurun sembari memperkaya khasanah saya agar iman yang lebih tipis dari kulit ari yang melekat pada diri saya tidak luntur.
   Bersungguh-sungguh dalam beragama bagi saya amatlah mendasar agar kita tidak berkesempatan mencari-cari kelemahan agama lain. Kita hendaklah berkonsentrasi pada kegiatan peningkatan pemahaman agama kita masing-masing, sehingga tak punya waktu untuk menyerang agama lain.
   Saya bersyukur atas kebodohan saya akan pemahaman agama lain. Kebodohan saya membuat saya akan bersikap netral bila ada pergesekan antar umat beragama walaupun melibatkan orang atau golongan yang seagama dengan saya.
   Saya berharap kompasianer juga bersikap seperti saya sehingga tak akan ada lagi artikel-artikel di kompasiana bertema agama yang berpotensi menimbulkan perdebatan yang bernada permusuhan, biarpun tujuan awal artikel tersebut adalah diskusi.
   Marilah bersungguh-sungguh beragama.
-o0o-

Tasikmalaya, 20 November 2010

Tulisan ini telah diposkan di Kompasiana

Selasa, 22 Februari 2011

Wahai Anggota Dewan, Berkorbanlah Sedikit Demi Rakyat!

   Menjadi anggota dewan memang sungguh nikmat. Bergaji besar dan banyak fasilitas. Bila tersandung masalah hukum mereka pun amat pandai berkilah. Tak salah rakyat memilih mereka karena mereka memang benar-benar pandai. Kepandaian berkilah mereka  kini mereka gunakan untuk menyanggah larangan merokok.
   Tak sedikit anggota dewan yang perokok. Dan tak jarang pula yang merokok di dalam gedung dewan saat sedang dalam rapat. Padahal gedung DPR berlokasi di ibukota yang telah memberlakukan perda larangan merokok. Salah satu area yang termasuk dalam larangan merokok di perda tersebut adalah gedung instansi, dan gedung DPR salah satunya.
   Mereka berlindung di balik tata tertib yang tak melarang anggota dewan merokok di dalam gedung DPR sehingga anggota dewan yang perokok tenang-tenang saja merokok biarpun tengah rapat. Apakah perda lebih rendah tingkatannya daripada tata tertib dewan, sehingga mereka tak mau mematuhi perda?
   Kalau mau berdebat dengan anggota dewan sudah pasti saya akan kalah. Dalam waktu beberapa menit saya akan kelimpungan menghadapi argumen mereka karena saya bukan orang pandai. Jangankan masalah larangan merokok yang enteng, untuk persoalan hukum yang pelik saja mereka amat piawai bersilat lidah. Jadi saya menyerah sebelum berdebat. Tapi karena saya ini seorang rakyat, ya sesekali memohon pengertian dari para anggota dewan terutama yang perokok.
   Gampangnya begini, bagaimana rakyat mau mematuhi aturan kalau para pemimpin sendiri melanggar aturan? Memangnya aturan dibuat hanya untuk rakyat saja?
   Saya tak hendak meminta anggota dewan yang perokok menghentikan kebiasaan merokok, saya hanya ingin mereka mau sedikit berkorban demi rakyat. Kasih contoh kepada rakyat bagaimana mematuhi peraturan. Masa tak merokok saat di dalam gedung atau ketika tengah rapat saja tak bisa? Nanti kan bisa merokok sepuasnya di luar gedung atau di luar sidang.
   Kami butuh bukti bukan janji karena kami sudah kenyang dengan janji sampai-sampai kami sering masuk angin karena janji kalian!
-o0o-

Jakarta, 17 Oktober 2010

Tulisan ini telah diposkan di Kompasiana

Jangan Bawa ke Kompasiana!

   Mata kita sudah amat sering disodori pemandangan yang memalukan, menakutkan, berdarah-darah, dan memilukan dengan vulgar. Perselisihan. Banyak pintu untuk bisa masuk ke pemandangan seperti itu. Televisi, internet, dan media cetak. Setiap hari setiap saat.
   Dengan corak yang berbeda, di kompasiana pun sering dijumpai persilihan yang lumayan vulgar. Baik berupa artikel maupun komentar. Ada yang menulis bertujuan untuk menyerang. Untuk memancing perdebatan urat dalam kata-kata. Bahkan berkomentar untuk memancing kemarahan padahal artikel yang dikomentari tak mengarah ke sana.  Dan lebih memiriskan yakni mencoba mengemukakan kelemahan dan kejelekan agama. Sehingga yang terbaca adalah komentar-komentar yang jauh dari tata krama.
   Mengapa kita tak bosan menciptakan perselisihan padahal tak ada manfaat apapun yang bisa diambil dari perselisihan? Tak teriritasikah mata kita? Ataukah sudah hilang rasa persaudaraan kita? Atau harus menunggu bencana agar persaudaraan kembali dieratkan seperti yang sudah sering kita alami?
   Kita telah ‘hidup’ serumah di kompasiana. Saat awal kita menjadi penghuni kita sering saling menyapa hangat membuat kita merasakan semangat baru. Kita masuk ke rumah ini tentu dengan tujuan baik. Ingin berbagi ilmu, belajar, dan menciptakan persaudaraan lewat tulisan. Haruskah semua itu tercemari oleh ambisi sesaat? Ingin muncul di headline, terpopuler, tertinggi, terbanyak.
   Menjadi nomor satu memang penting tapi lebih penting adalah caranya. Di rumah ini yang kita perlukan adalah kerendahan hati dan saling menghargai. Sebab kita semua mempunyai kelebihan dan kekurangan, juga kelemahan dan kekuatan. Kita seyogyanya saling melengkapi agar tercipta keharmonisan di dalam ‘rumah tangga’ kompasiana.
   Bawalah semua yang positif ke dalam rumah kita ini. Bila negatif jangan bawa ke sini.
-o0o-
Jakarta, 22 November 2010

Tulisan ini telah diposkan di Kompasiana

Senin, 21 Februari 2011

Mengapa Tak Semua Rekening Tabungan Bebas Biaya Administrasi?

   Akhir-akhir ini banyak bank yang berusaha menggaet nasabah baru dengan cara membebaskan biaya administrasi bulanan pada rekening tabungan yang ditawarkan. Dan saya salah satu “korban”nya. Dengan syarat saldo minimal tak kurang dari 100 ribu rupiah saya pun bisa punya rekening tabungan tanpa dipungut biaya administrasi bulanan di sebuah bank swasta nasional.
   Tapi karena saya hidup di perantaun dan setiap bulan saya harus mengirim uang untuk biaya hidup orang-orang yang saya cintai di desa, maka saya pun membuka satu rekening lagi di bank milik pemerintah yang cabang-cabangnya tersebar hingga ke kota kecamatan, untuk mempermudah pengiriman uang tersebut. Tapi saya merasa sayang karena setiap bulan uang saya di rekening ini yang tak banyak jumlah itu pun harus dipotong 9.000 rupiah untuk biaya administrasi. Sebagai orang yang tak punya banyak uang, biaya administrasi sebesar 9.000 rupiah buat saya cukup memberatkan.
   Bank pemerintah yang saya punya rekening itu adalah salah satu bank yang juga menyelenggarakan acara di sebuah stasiun tv swasta nasional. Melihat semaraknya acara dengan menggundang artis-artis terkenal, saya menduga biaya yang dikeluarkan untuk acara tersebut pasti amat besar. Saya menduga lagi biaya itu pasti didapat dari keuntungan pengelolaan uang para nasabah termasuk dari 9.000 rupiah yang dipotong dari setiap rekening tabungan.
   Di pikiran saya lalu mereka-reka, seandainya acara seperti itu tak diadakan pasti saya dan nasabah-nasabah lain akan terbebas dari biaya administrasi sebesar 9.000 rupiah setiap bulan.
Sewajarnyalah bila setiap bank membebaskan para nasabahnya dari biaya administrasi bulanan sebabnya tanpa nasabah, bank tidak akan bisa beroperasi karena tak ada dana yang dapat dikelolanya. Keuntungan dari pengelolaan dana para nasabah sudah cukup besar, buktinya bank bisa menyewa gedung-gedung untuk kantor-kantor cabangnya dan bisa menyelenggarakan acara-acara yang tak sedikit memakan biaya.
   Seandainya pihak bank lebih bijak dalam menggunakan keuntungan, hasil dari pengelolaan dana para nasabah, pasti setiap nasabah tak perlu dibebani dengan biaya administrasi setiap bulanan seperti bank-bank yang sedang mempromosikan rekening bebas biaya bulanan. Termasuk saya yang tak punya banyak uang.
    Semoga…
-o0o-

Jakarta, 11 Oktober 2010

Minggu, 20 Februari 2011

Bayarlah WC Umum Tak Terawat dengan Uang Kertas Kumal

   Setiap orang yang melakukan perjalanan jauh dapat dipastikan akan menyempatkan diri ke toilet atau wc umum saat berhenti di tempat peristirahatan atau rumah makan dan terminal, untuk berhajat, buang air kecil, atau sekedar cuci muka untuk menghilang rasa kantuk.
   Namun wc-wc umum yang disediakan oleh pengelola banyak yang dalam keadaan tak terawat. Jorok, bau yang tak sedap, pintu yang rusak, dan tempat air kotor, apalagi wc umum yang berada di terminal. Setiap orang yang menggunakan biasanya dengan terpaksa karena tak dapat menahan berhajat dan buang air kecil yang tertahan selama perjalanan.
   Tarif wc umum memang relatif murah. Biasanya 1000 rupiah untuk berhajat dan buang air kecil dan 2000 rupiah untuk mandi. Namun bila dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan pihak pengelola untuk setiap pengguna wc, pihak pengelola sudah memperoleh untung yang lumayan besar. Berapa harga 3 - 10 gayung air, atau 1/2 - 1 bak yang berhajat atau mandi? Mungkin sekitar 300 atau 500 rupiah, apalagi kebanyakan air yang disediakan di wc umum bersumber dari air tanah tentu lebih murah lagi bahkan tak membayar untuk mendapat air tersebut.
   Melihat banyaknya kondisi wc umum yang tak terawat ada baiknya bila pengguna wc menyediakan uang kertas pecahan 1000 atau 2000 yang kumal dan rusak untuk membayar jasa wc. Ini bertujuan sebagai bentuk protes kepada pengelola yang kurang atau tidak mempedulikan kebersihan wc yang dikelolanya. Dan bila penjaga wc protes maka gunakanlah kesempatan itu untuk mengeluhkan kondisi kebersihan wc yang tak terawat itu.
   Mungkin dengan banyaknya pengguna wc umum yang membayar dengan uang kertas kumal dan rusak serta banyaknya keluhan yang disampaikan kepada penjaga wc, pihak pengelola akan tergugah untuk lebih memperhatikan kebersihan wc yang dikelolanya, tidak mementingkan keuntungan semata. Sehingga kita sebagai pengguna akan merasa nyaman.
   Mulailah dari sekarang bayarlah jasa wc yang tak terawat dengan uang kerta kumal dan rusak. Semoga berhasil.

Jakarta, 19 September 2010

Tulisan ini telah diposkan di Kompasiana

Kenapa Harus dengan Kembang Api dan Terompet?

   Malam pergantian tahun tak bisa dipisahkan dari kembang api dan terompet. Dua benda ini seakan telah benar-benar melekat dengan malam pergantian tahun. Dua barang tersebut bak kacang goreng, ludes terjual untuk merayakan datannya tahun baru. Kenapa harus dengan kembang api dan terompet untuk merayakannya?
   Kenapa tidak dengan berdoa agar di tahun yang akan datang kita terhindar segala marabahaya dan bencana alam? Berdo’a di tempat peribadatan sesuai agama dan keyakinan masing-masing, sebab bangsa kita telah berkali-kali terseret kedalam kesengsaraan yang memilukan. Berdo’a di masjid bagi umat Islam, di gereja untuk umat Kristen, di wihara bagi yang Budha, dan di pura untuk yang Hindu.

31 Des '10

Tulisan ini telah diposkan di Kompasiana

Sabtu, 19 Februari 2011

Ayo, Alihkan Uang Rokok Buat Susu

   Merokok bagi banyak orang adalah kebiasaan yang mengasyikkan namun tak sedikit pula yang membenci rokok. Mengasyikkan dan membenci itu soal hak. Dan Anda bebas memilih yang mana saja.
    Bila ditilik dari segi ekonomi, merokok sebenarnya merugikan. Berapa uang yang harus dibelanjakan untuk membeli rokok? Yang berpenghasilan menengah ke atas mungkin tak jadi masalah. Namun bagaimana dengan mereka yang berpenghasilan pas-pasan apalagi bagi yang berpenghasilan tak menentu? Yang pas-pasan dan tak menentu mungkin tak jadi masalah bila masih lajang. Bagaimana bila sudah berumahtangga.
    Mereka yang berpenghasilan pas-pasan dan tak menentu bisa jadi uang yang dialokasikan untuk rokok lebih besar daripada untuk kebutuhan keluarga. Padahal anak istri makan ala kadarnya tanpa memperhatikan asupan gizi pada makanan yang dikonsumsi. Namun menyadari atau tak menyadari keadaan ini seperti dibiarkan
    Seandainya belanja rokok sebesar 6000 rupiah lalu dialihkan untuk membeli susu, maka setiap keluarga di Indonesia akan dapat minum setiap hari. Kandungan gizi pada susu amat baik untuk pertumbuhan dan kecerdasan pada anak, baik untuk kesehatan ibu hamil dan menyusui, juga baik untuk stamina bagi para pekerja keras seperti kebanyakan masyarakat kita.
    Karena itu mari kita dukung kampanye anti tembakau dan rokok.
    Rokok no susu yes!
-o0o-

Tulisan ini telah diposkan di Kompasiana

Jumat, 18 Februari 2011

Cara Nikmat Merokok di Tempat Umun

   Sebagai mantan perokok, saya mempunyai cara agar merokok di tempat umum lebih terasa nikmat dan tak mengganggu orang-orang di sekitarnya.
   Bila Anda seorang perokok dan suka merokok di tempat umum, di kendaraan umum, dan di area yang terdapat peringatan dilarang merokok, anda harus mencoba cara merokok yang akan saya uraikan di bawah ini agar Anda memperoleh sensasi nikmatnya merokok.
   Berikut cara-caranya: 1) nyalakan terlebih dahulu rokok kesukaan Anda di salah satu tempat seperti yang saya sebutkan di atas, 2) lalu hisap pelan-pelan asapnya sebanyak yang anda biasa hisap, 3) jaga agar tak ada sedikit pun asap yang keluar dari mulut anda, 4) lalu hirup asap yang telah terkumpul melalui hidung, semakin pelan semakin nikmat, 5) bila cara ke-4 tak mampu Anda lakukan, Anda bisa melakukan dengan cara menelan asap yang telah berada di mulut, ingat harus dengan pelan karena semakin pelan akan semakin nikmat.
   Dengan cara-cara tersebut, Anda tak perlu khawatir dengan orang-orang di sekitar Anda yang tak merokok karena mereka tak akan terganggu oleh asap rokok dari Anda.
    Selamat mencoba. Semoga Anda memperoleh kenikmatan dan sensasi yang tiada tara. Semoga.

Jakarta, 28 Oktober 2010

Tulisan ini telah diposkan di Kompasiana

Saya Penduduk Negeri Setengah Tiang

   Setelah usia saya 36 tahun, saya baru menyadari ternyata saya hidup di sebuah negeri setengah tiang. Saya menyebut negeri saya ini negeri setengah tiang karena setahu saya saat negeri sedang dalam suasana berkabung biasanya bendera dikibarkan setengah tiang. Jadi maksud saya dengan negeri setengah tiang adalah negeri saya ini selalu -paling tidak sering- dalam keadaan berkabung.
   Sebab berkabungnya negeri saya banyak macamnya. Pertikaian sesama warga, sesama pemeluk agama, dan antar pemeluk agama. Pertikaian antar suku, penduduk lokal dan pendatang, dan antar perkumpulan. Juga pertikaian sesama pelajar lain sekolah, sesama mahasiswa sekampus lain fakultas, dan antar mahasiswa lain kampus. Pertikaian-pertikaian ini tidak jarang yang memakan korban jiwa.
   Kemudian keonaran-keonaran yang disebabkan oleh ormas-ormas beringas yang merasa paling benar dan merasa berhak mengatur jalannya peraturan-peraturan seolah-olah negeri ini tak mempunyai aparat penegak hukum. Mereka kerapkali menghakimi suatu golongan bersalah dan seolah-olah tak berhak menghirup udara di negeri saya sebelum golongan ini mengikuti jalan pikiran mereka.
   Sebab berkabungnya negeri yang lainnya yakni maraknya tindak pidana korupsi. Sejak sebuah rezim otoriter berhasil digulingkan, tindak pidana korupsi dilakukan dengan lebih berani, secara massal dan terang-terangan. Alih-alih ingin menata negeri lebih baik, kini malah kian amburadul. Tak terhitung sudah para pelaku tindak pidana korupsi yang kabur ke negeri orang karena tak berfungsinya sistem pengamanan bagi para napi dan tahanan dengan baik. Tak terhitung pula uang negeri saya yang menguap entah kemana.
   Banyaknya aparat penegak hukum yang mudah disuap juga menjadi salah satu penyebab negeri saya berkabung. Bayangkan, mereka yang diharapkan bisa menjadi pendekar-pendekar dalam penegakan hukum malah seperti macan ompong bila disodori segepok uang. Semestinya merekalah yang bertugas menjebloskan para pesakitan di ruang sidang, tapi malah mereka ikut-ikutan menjadi pesakitan. Benar-benar sakit!
   Dan saat ini negeri saya sedang dikentuti oleh seorang koruptor yang selalu cengengesan bila ditanyai pemburu warta. Beberapa hakim, jaksa, dan polisi yang seharusnya bekerja sama untuk memotong lehernya, malah berhasil disuap. Mungkin karena jumlah uang yang dikorupsi mampu untuk menghidupi tujuh turunan.
   Kini yang tengah menghangat ialah kasus TKI. Ini bukan lagi sekedar membuat negeri saya berkabung namun juga merendah harga diri sebagai sebuah bangsa. Sumiati menjadi TKI yang kesekian yang mengalami penyiksaan. Kimkim menambah kian panjang daftar TKI-TKI yang pulang ke tanah air hanya berupa jasad yang telah beku. Permasalahan mereka sering menjadi bahan perbincangan lalu kian hilang dari ingatan hingga kemudian muncul kembali ke permukaan. Sebuah lingkaran yang tak pernah berkesudahan.
   Saya sebenarnya ingin menambah lebih banyak lagi penyebab berkabungnya negeri saya seperti nasib petani yang tak pernah beranjak karena hasil pertanian tak bisa menutupi biaya pengelolaan dan perawatan lahan dan tanaman. Anak-anak yang kurang gizi dan makan. Bencana alam yang menimpa secara beruntun. Dan entah apalagi.
   Entah sampai kapan saya menjadi penduduk negeri setengah tiang ini. Pemangku tahta negeri telah berganti berkali-kali namun mereka tak membawa perubahan berarti. Padahal dulu -menurut para tetua- negeri saya ini amat disegani karena kepemimpinan nan gagah berani.
   Semoga suasana berkabung ini akan segera berlalu walaupun saya tak mengalami.
-o0o-

Jakarta, 23 November 2010

Tulisan ini telah diposkan di Kompasiana

Kamis, 17 Februari 2011

Tunjukkan Keseriusan Pemberantasan Korupsi Sekarang

  Sampai saat ini kasus Gayus masih menyita perhatian masyarakat dari berbagai lapisan.  Media-media pemberitaan pun masih diramaikan oleh gaung kasus Gayus. Yang terakhir adalah kasus pemalsuan paspor dengan nama samaran Sony Laksono dan menghabiskan biaya sekitar 1 milliar, yang dilakukan oleh Gayus agar dia bisa leluasa bepergian ke luar negeri.
  Sebelumnya, Gayus dikabarkan berada di Bali sedang menonton turnamen tenis padahal dia sedang  menjalani masa tahanan  di rutan Mako Brimob. Seorang wartawan olahraga berhasil mengabadikan seseorang yang memakai wig dan berkacamata mirip Gayus berada diantara penonton turnamen tenis tersebut. Awalnya kebenaran foto tersebut  disangkal oleh Gayus walaupun pada akhirnya dia mengakui bahwa foto yang telah tersebar ke berbagai media tersebut adalah dirinya.
  Kalau diperhatikan lebih seksama, sejalan dengan perkembangan kasusnya, Gayus semakin berani melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum, setelah kasus korupsi yang sanggup memaksa presiden menggelar rapat kabinet dadakan di Halim, mencuat ke permukaan dan menjadi perhatian serius aparat penegak hukum khususnya, dan masyarkat pada umumnya.  Setelah divonis bebas oleh PN Tangerang, Gayus langsung ngacir ke Singapura. Vonis bebas tersebut, belakang diketahui karena adalah rekayasa dakwaan yang diduga dimotori oleh seorang jaksa yang namanya cukup dikenal setelah menuntut hukuman mati mantan ketua KPK.
    Setelah ‘secara tak sengaja’ satgas menemukan Gayus di sebuah rumah makan dan berhasil ‘membujuk’ Gayus agar kembali ke tanah air, maka Gayus resmi ditahan. Namun penahanan terhadap diri Gayus tak membuat dia terisolasi, malah sebaliknya, ia bisa dengan leluasa bepergian layaknya warga yang tak berstatus sebagai tahanan. Dengan uang puluhan  juta dari hasil korupsi pajak, dia mampu memperdaya beberapa petugas rutan agar dirinya bisa leluasa menghirup udara di luar tahanan, bahkan bisa bepergian hingga ke luar negeri, seperti Malaysia dan Singapura.
    Kemungkinan besar Gayus tidak bertindak sendirian. Beberapa indikasi itu telah muncul ke ranah publik. Mungkin karena itulah dengan tenang, pelanggaran-pelanggaran hukum dia lakukan layaknya sebuah permainan. Dan satu persatu mulai terkuak. Melihat kemungkinan adanya orang-orang yang berpengaruh di republik ini ikut andil pada kasus Gayus, keberanian ekstra diperlukan dalam menangani kasus yang telah menghebohkan tersebut, dari institusi-institusi penegak hukum sehingga akan muncul tuntutan yang berani seperti menghukum mati Gayus.
   Beberapa hal yang membuat Gayus layak dihukum mati antara lain nilai korupsi yang fantastis, dilakukan di tengah penderitaan rakyat karena bencana alam, berani melakukan berbagai pelanggaran hukum saat dalam penahanan dengan menyuap aparat, yang paling penting agar dia mau bersuara untuk membuka siapa saja yang terlibat, dan bisa menjadi semacam terapi kejut bagi para koruptor lain agar menghentikan aksinya, juga bisa menjadi peringatan bagi calon-calon koruptor agar mengurungkan niatnya.
   Bila pemerintah mau serius dalam pemberantasan korupsi, inilah momentum yang tepat untuk melakukan gebrakan yang berarti, sebab institusi pemberantas korupsi sekaliber KPK pun sudah tak ditakuti lagi oleh para koruptor. Sekaranglah waktu yang tepat untuk ‘menghajar’ koruptor. Untuk menunjukkan betapa pemerintah sangat serius dalam melakukan upaya pemberantas korupsi. Masyarakat akan percaya keseriusan pemerintah bila penyelesaian kasus Gayus berakhir dengan vonis mati terhadap Gayus.
   Tanpa adanya hukuman mati bagi koruptor, memberantas korupsi adalah sebuah mimpi.
-o0o-

Jakarta, 14 Januari 2011

Tulisan ini telah diposkan di Kompasina

Punya Mobil Ya Punya Garasi

   Nada tulisan ini nada protes bagi yang punya mobil, tapi tidak semua yang punya mobil saya protes, protes ini saya tujukan bagi pemilik mobil tapi tak punya garasi di rumahnya. Protes saya ini bukan karena merasa iri lantaran saya tak punya mobil tapi lebih pada mengharapkan rasa saling pengertian sesama warga.
    Sudah bukan pemandangan baru bagi saya dan juga warga ibukota yang lain, -mungkin juga di kota-kota lain, kalau setiap malam di jalan-jalan di pemukiman terpakir mobil pada bagian jalan di depan rumah pemilik mobil. Akibatnya jalan-jalan menjadi sempit. Bagi para pemilik mobils, sempitnya jalan tersebut mungkin tak jadi soal karena biasanya mereka tak keluar rumah lagi saat mobil mereka diparkirkan. Mereka bisa menyuruh pembantu bila mereka memerlukan sesuatu di luar rumah. Tetapi bagi yang tak punya mobil, jalan yang telah sempit oleh mobil-mobil yang diparkir menjadi masalah. Kami kurang leluasa menggunakan jalan.
    Apalagi bagi orang seperti saya yang sering jalan kaki lantaran tak punya alat transportasi sendiri. Saya harus berhenti dan menepi dulu menunggu mobil atau motor yang mau melewati saya, baik yang datang dari belakang maupun dari depan saya, bila sampai di bagian jalan dimana mobil diparkir. Saya terpaksa mengalah kalau tak mau ada masalah. Padahal kalau jalanan lapang saya bisa berjalan dengan asyik sambil melamun atau bersenandung. Iya kan?
    Harapan saya tulisan ini dibaca juga oleh para pemilik mobil tapi tak punya garasi di rumahnya yang setiap malam memarkirkan mobilnya di jalan di depan rumahnya, di mana saja mereka tinggal. Syukur-syukur banyak pembaca yang tinggal di daerah saya tinggal. Semoga setelah membaca tulisan ini mereka menjadi sadar bahwa memarkirkan mobil di jalan umum pada malam hari amatlah mengganggu para pengguna jalan.
    Punya mobil ya harus punya garasi.
-o0o-


Jakarta, 13 Oktober 2010

Tulisan ini telah diposkan di Kompasiana

Rabu, 16 Februari 2011

Mengapa Belum Ada Koruptor Dihukum Mati di Indonesia

   Pertanyaan yang saya jadikan judul amat mudah dijawab. Jawabannya karena setiap koruptor sudah bisa dipastikan akan menjerat banyak aparat penegak hukum dengan menggunakan hasil korupsinya sebelum dirinya terjerat hukum.
   Untuk mengamankan dan menyamankan dirinya, biasanya seorang koruptor akan ‘berbagi hasil’ dengan para aparat yang akan bersinggungan dengannya. Mulai dari polisi, jaksa, dan hakim. Ini sebenarnya semacam kiat agar kelak bila dirinya tertangkap hingga menjadi terdakwa, ia dapat memanfaatkan rasa hutang budi para aparat yang ikut merasakan uang hasil korupsi.
    Para oknum polisi, jaksa, dan hakim akan bekerja sama agar dalam persidangan koruptor tersebut dihukum ringan atau bahkan diputus bebas. Para oknum polisi biasanya akan menjerat koruptor tersebut dengan pasal yang menimbulkan dakwaan para oknum jaksa menjadi kabur, kemudian para oknum hakim akan kesulitan memutuskan vonis sehingga yang terjadi si koruptor divonis ringan atau bahkan bebas.
    Para oknum polisi, jaksa, dan hakim merasa sangat khawatir akan nyanyian si koruptor dalam persidangan bila ia dituntut hukuman mati. Karenanya mereka akan bahu-membahu untuk mengatasi nyanyian tersebut. Dalam hal ini contoh yang paling aktual adalah pada persidangan kasus Gayus di pengadilan negeri Tangerang yang menvonis bebas Gayus.
    Jadi meskipun dampak dari korupsi lebih sistemik daripada teroris dan narkoba tapi sampai saat ini belum ada satupun pelaku korupsi di Indonesia yang dihukum mati walaupun nilai korupsinya amat fantastik. Padahal bila ditinjau lebih jauh, korupsi lebih terencana ketimbang pembunuhan berencana atau sama terencananya dengan aksi teroris dan peredaran narkoba. Korupsi juga menimbulkan dampak menyengsarakan  dan bahkan mematikan seperti halnya teroris dan narkoba.
    Sebab lain tidak adanya koruptor yang dihukum mati di Indonesia adalah masih minimnya jumlah aparat penegak hukum yang punya keberanian dalam pemberantasan korupsi. Mereka tak berdaya menghadapi tekanan-tekanan di institusinya masing-masing sehingga mereka selalu kalah dalam memperjuangkan keyakinan dan argumen-argumennya demi menghukum mati koruptor karena kekuatan yang tak seimbang.
    Menghukum mati koruptor di Indonesia sepertinya masih menjadi sebuah mimpi.

Jakarta, 15 Desember 2010

Tulisan ini telah diposkan di Kompasiana
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...