Kemelut di PSSI kian hari kian memanas dan menjadi berita yang tak kalah menyitanya perhatian khalayak dengan isu setgab atau koalisi yang kini memasuki babak baru dengan segala kemungkinan yang akan terjadi akibat perbedaan pandangan di antara sesama anggota koalisi. Kekisruhan di PSSI juga menyita ruang perhatian khalayak akan memanasnya situasi di Timur Tengah yang ditandai dengan turunnya beberapa pemimpin negara yang mulai kurang disukai oleh rakyatnya
Demonstrasi-demonstrasi yang kini kian marak dilakukan oleh masyarakat yang cinta sepakbola dan prihatin dengan kondisi persepakbolaan nasional, akhirnya memaksa Nurdin Halid sang ketua umum PSSI mengeluarkan pernyataan di forum lain yakni forum yang berkenaan dengan koperasi dimana ia juga menjadi ketuanya, bahwa ia akan terus berjuang demi harkat, martabat dan nama baik statuta PSSI. Ia bahkan menuduh ada pihak yang menunggangi demonstrasi-demonstrasi yang sampai hari ini masih terus digelarkan di seluruh tanah air, yakni oleh kelompok sosialis dan kapitalis.
Pada umumnya masyarakat tak mengerti tentang statuta baik statuta PSSI terlebih statuta FIFA, kecuali para pemerhati persepakbolaan. Masyarakat hanya mengira-kira bahwa statuta tak ubahnya sebuah peraturan yang diberlakukan di persepakbolaan. Seperti halnya peraturan pada umumnya, statuta dibuat dengan sebuah tujuan agar segala mekanisme yang akan dijalankan di tubuh PSSI berjalan dengan benar dan selaras dengan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan sesuai dengan statuta organisasi persepakbolaan yang lebih tinggi derajatnya yakni FIFA, sehingga perkembangan dan iklim persepakbolaan nasional akan tumbuh dengan baik dan berlangsung dengan sehat.
Pernyataan Nurdin Halid perihal statuta PSSI menyiratkan sepertinya hanya ia sendiri yang paham tentang statuta PSSI. Ia lupa, elemen-elemen masyarakat yang menghendaki ia mundur juga tak sedikit yang berasal dari para kaum cendikia yang memahami persepakbolaan, dan orang-orang internal PSSI yang mengingin perubahan mendasar di tubuh PSSI. Mereka pasti paham betul akan statuta PSSI.
Ngototnya Nurdin Halid bertahan sebagai ketua umum PSSI mengingatkan kita kepada sikap keras kepalanya para pemimpin negara di Timur Tengah untuk terus bertahan padahal rakyat mereka sudah tak menyukainya. Ben Ali dan Husni Mubarak akhirnya mundur dan hengkang dari negaranya setelah merasa tidak ada lagi peluang atau sesuatu yang mendukung keduanya untuk bertahan sebagai presiden. Sikap Ali dan Mubarak yang dengan terpaksa mengundurkan diri menyelematkan negara dari perpecahan. Namun tidak demikian dengan Khadafi, ia telah menghancurkan negara yang dipimpinnya melalui kudeta saat ia berpangkat kapten terhadap Raja Idris, dengan sikap “keterlaluan”nya.
Khadafi memerintahkan tentara loyalisnya untuk menyerang para demonstran sehingga mengakibat banyak korban tewas dari pihak demonstran. Kekejaman Khadafi ini menjadi bumerang bagi dirinya. Libya bagian timur yang tentara-tentaranya tak mengindahkan perintah Khadafi karena lebih mencintai negara mereka, akhirnya jatuh ke pihak oposisi lalu menyatakan diri berpisah dari Tripoli.
Lalu apakah bagaimana sikap Nurdin Halid menyikapi situasi di PSSI dan aksi masyarakat? Akankah ia meniru Ali dan Mubarak yang biarpun dengan hilang muka akhirnya mundur dan selamatnya Tunisia dan Mesir dari perpecahan, atau akan meniru Khadafi yang amat keras dan kejam menghadapi rakyatnya yang berakibat pada pecahnya Libia menjadi timur dan barat?
Kita tentu mengharapkan sikap yang bijak dan mau bekorban dari diri Nurdin Halid. Bila ia benar-benar mencintai sepakbola nasional pada khususnya dan Indonesia pada umumnya, karena PSSI dibentuk sebagai salah satu alat perjuangan bangsa di kancah olahraga, tentu ia akan memilih cara Ali dan Mubarak. Namun bila jabatan sebagai ketua umum PSSI ia pergunakan untuk meraih ambisi pribadi dan bukan sebagai pengabdian pada apa yang dicintainya, mungkin ia akan memilih cara Khadafi. Bila cara terakhir yang dipilihnya, bisa jadi akan ada pengurus PSSI baru atau tandingan yang dibentuk oleh para petinggi PSSI sebagai akibat bentuk ketidakpuasan dan kekecewaan mereka dengan pengurus PSSI di bawah kepemimpinan Nurdin Halid atau kubu Nurdin Halid.
Bukan pengurus tandingan bukan sesuatu yang baru di Indonesia. Di perpolitikan nasional hal itu sudah sering terjadi. Orang-orang yang merasa kecewa karena penyaluran inspirasi tak berjalan baik maka kelompok orang ini membentuk partai anak dan memisahkan diri dari induknya. Walaupun pada akhirnya justru perolehan suara mereka menjadi turun di pemilu dan kekuatan suara menjadi lemah di parlemen. Ini akibat tidak adanya saling pengertian dan mementingkan ego masing-masing. Tujuan perjuangan diabaikan, sehingga perpecahan tak dapat dielakkan.
Seperti rakyat di Timur Tengah, demonstrasi yang digelarkan oleh banyak elemen masyarakat Indonesia yang menuntut adanya revolusi PSSI, bertujuan agar tercipta “sesuatu yang sangat berarti” pada persepakbolaan nasional mengingat prestasi-prestasi timnas kurang maksimal. Kita ingin timnas menjadi kebanggaan setidaknya di kawasan asia tenggara. Demonstrasi ini sebagai reaksi wajar atas kekecawaan yang sudah lama terpendam. Maka bila Nurdin Halid menuduh demonstrasi ditunggangi oleh kelompok sosialis dan kapitalis, ini merupakan tuduhan yang keji dan diluar nalar. Tapi kita mesti maklum dengan tuduhan yang dilontarkannya itu. Biasanya orang akan menggunakan cara lain untuk bertahan bila cara legal formal sudah tertutup. Bukankah Komisi Pemilihan dan Komisi Banding telah membatalkan pencalonan dirinya untuk periode mendatang hingga kisruh di tubuh PSSI berakhir dan situasi di tengah masyarakat membaik.
Tak ada gading yang tak retak. Bila Nurdin Halid mau belajar memahami peribahasa tersebut, ia pasti akan dengan legowo meninggalkan kursi ketua umum PSSI yang pernah ia duduki dari balik terasi besi, untuk ia persilahkan personal-personal lain untuk mendudukinya melalui mekanisme yang telah disepakati bersama. Masyarakat tetap akan mengenang ia sebagai mantan ketua umum PSSI dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Seperti mantan presiden Soeharto yang dengan legowo meninggalkan kursi kepresidenan setelah menyadari dukungan terhadap beliau tak memungkinan bertahan sebagai presiden. Dan lihatlah saat beliau wafat, jutaan rakyat menangisi kepergiannya. Sisi-sisi jalan sesak oleh rakyat yang hanya ingin menyaksikan peti yang membawa jasadnya lewat. Saat itu rakyat hanya ingat jasa-jasanya dan melupakan dosa-dosanya. Bahkan rakyat yang tumpah ruah seakan merindukan suasana saat beliau masih menjadi presiden.
Kalau dicermati, tak ada perbedaan mendasar pada tujuan demonstrasi di seluruh Indonesia, yakni revolusi PSSI artinya Nurdin Halid turun dari kursi ketua umum organisasi yang menaungi persepakbolaan nasional ini. Ini berarti kemungkinan terjadi perpecahan karena beda agenda di tengah masyarakat yang menggelar demonstrasi, sangat kecil, bahkan bisa dikatakan tidak akan terjadi. Bila Nurdin Halid saat ini turun maka masyarakat akan bersorak gembira menandai diakhirinya demonstrasi selama ini. Dan mungkin masyarakat akan mengenang jasa-jasa di persepakbolaan nasional, bukan mengenangnya sebagai ketua umum PSSI yang kontroversional.
Kita tentu tak menghendaki terjadi “gol bunuh diri” di tubuh PSSI. Jangan sampai karena bersikukuhnya Nurdin Halid untuk terus memainkan bola panas PSSI ini, menyebabkan kakinya kepanasan lalu sembarangan menghalau bola hingga bola itu merobek gawang PSSI bahkan membakarnya. Akibatnya bukan Nurdin Halid saja yang merasakan akibat malu karena “gol bunuh diri” tersebut, bahkan masyarakat pencinta sepakbola khususnya dan rakyat Indonesia pada umunya.
Masih ada waktu buat Nurdin Halid untuk menjernihkan pikiran agar bisa dengan bijak walaupun terlambat, memahami situasi yang sedang berkembang, lalu ia dengan ikhlas atau legowo turun dari kursi ketua umum, kemudian mempercayakan pada mekanisme yang berlaku untuk kembali memilih ketua umum baru, walaupun tak menjamin ketua umum baru akan mampu membawa perubahan persepakbolaan nasional, setidaknya perhatian pada dirinya berakhir dan konsentrasi pembinaan akan difokuskan untuk hal lebih penting yakni peningkatan persepakbolaan nasional. Jangan sampai terlambat mengambil keputusan akhirnya “rakyat sepakbola” menjadi korban.
Masih mending kalau yang terjadi gol bunuh diri hanya malu yang didapat, tapi bila akibat lebih fatal dengan matinya persepakbolaan nasional karena frustasi yang memuncak, maka semua rakyat Indonesia akan mengutuknya, seperti Khadafi yang dikutuk dunia internasional karena membunuh dengan keji rakyatnya sendiri.
-o0o-
Jakarta, 01 Maret '11
Tulisan ini telah diposkan di Kompasiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar