Didalam sistem kepartaian yang multipartai, menjadi pemenang mayoritas tunggal pada setiap pemilihan umum, hampir tidak mungkin, karena suara para pemilih tersebar buyar ke semua partai peserta pemilu. Karena itu, bagi partai yang memenangi pemilu yang akan memegang kekuasaan, membutuhkan dukungan dari partai-partai lain untuk mengokohkan suara di parlemen, agar program-program kerja yang akan dijalankan dalam pemerintahan nanti berjalan mulus tanpa ganjalan dari partai oposisi di parlemen.
Di Indonesia setelah memasuki era reformasi juga menganut sistem multipartai, maka membentuk koalisi merupakan sebuah keharusan bagi partai pemenang pemilu. Sebagai partai pemenang pemilu, saat ini Partai Demokrat pun membentuk koalisi beranggotakan Partai Golkar, PKS, PPP, PKB, dan PAN sebagai mitra koalisi, atau lebih dikenal dengan Sekretariat Gabungan (Setgab). Seperti tujuan koalisi pada umumnya, Setgab pun dibentuk untuk memuluskan setiap program yang hendak digulirkan oleh pemerintah yang dinahkodai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Dengan adanya Satgab, diharapkan suara fraksi pemerintah didukung suara fraksi-fraksi anggota Setgab di parlemen, akan selalu mengungguli suara fraksi-fraksi diluar Setgab yang kerap berseberangan dengan pemerintah atau lebih dikenal dengan oposan. Sehingga program yang diusung pemerintah bisa direalisasikan.
Namun seiring dengan kondisi negara dan dinamika perpolitikan yang terjadi di tanah air, apa yang menjadi cita-cita Setgab tidak selalu berjalan mulus, baik didalam tubuh pemerintahan yakni di kabinet maupun di parlemen. Menteri-menteri yang berasal dari partai mitra koalisi sering berbeda sikap saat menyikapi suatu isu yang tengah hangat di masyarakat. Dan di parlemen juga kerap terjadi perbedaan suara baik antar fraksi maupun antar anggota satu fraksi mitra koalisi, sehingga perpecahan suara tersebut sering menjadi duri dalam daging yang mengganggu jalannya pemerintahan. Sehingga ancaman akan mengganti menteri-menteri yang tak sejalan atau menceraikan partai mitra koalisi yang membangkang pun kerap dikeluarkan oleh partai pemimpin koalisi. Perang saudara dalam koalisi yang kini sedang berlangsung disebabkan oleh ketidakkompakkan dalam menyikapi hak angket mafia pajak. Ada dua partai yang setuju dengan hak angket dan empat lain tidak setuju, dengan alasan masing-masing.
Kalau mau jujur, memutuskan berkaolisi atau beroposisi sebenarnya disebabkan oleh situasi menguntungkan atau tidak untuk partai pada saat itu. Bagi partai dengan perolehan suara menengah ke bawah memutuskan berkoalisi akan lebih menguntungkan karena keberadaan mereka remang-remang. Merapat ke pemerintah akan lebih terlihat keberadaannya daripada beroposisi, karena bisa mengorbitkan anggotanya menjadi menteri yang akan membawahi sebuah kementerian, yang tentu saja bila berhasil dalam merealisasikan program pemerintah, akan berpengaruh kepada pamor partai, yang diharap akan menambah perolehan suara pada pemilu berikutnya. Jadi walaupun kalah di pemilu, namun partai dengan perolehan suara menengah ke bawah mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu yang lebih kelihatan oleh rakyat ketimbang hanya bersuara keras di parlemen bila memilih beroposisi.
Mengapa bisa terjadi perbedaan pandangan dalam hak angket, juga mungkin isu-isu lain, sesama mitra koalisi? Padahal sebelum dibentuk koalisi telah ditandantangani butir-butir kesepakatan atau semacam aturan main untuk menghindari perpecahan suara saat menjalankan koalisi. Jawabannya adalah karena masing-masing anggota partai masih membawa dan mengutamakan kepentingan partai asalnya. Bagaimanapun, simpati dari rakyat untuk meraih suara pada pemilu mendatang tetap menjadi perhitungan. Alasan-alasan yang dikemukakan, mengapa mitra koalisi berbeda sikap, selalu demi kepentingan rakyat. Padahal ketika mereka mengatakan “demi kepentingan rakyat,” saat itu pula dalam hati mereka mungkin mengatakan “demi kepentingan partai juga.“
Perpecahan suara sesama mitra koalisi juga menjadi indikasi buruknya koordinasi yang dijalankan dalam koalisi, dan kurangnya pemahaman akan kesepakatan yang telah diamini bersama. Namun yang lebih menyebabkan ketidakselarasan dalam koalisi adalah misi masing-masing partai yang disusupkan ke dalam koalisi, sebab koalisi yang pernah ada Indonesia adalah memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, terutama oleh partai dengan perolehan suara pas-pasan atau partai kecil. Koalisi semacam ini lebih menguntungkan partai kecil untuk kepentingan partainya ketimbang untuk kepentingan koalisi.
Dalam berkoalisi diperlukan ketegasan, bila perlu keotoriteran dari pemimpin koalisi, agar kemitraan yang dibangun menjadi bermanfaat terutama bagi partai pemimpin koalisi demi kelancaran program-program yang digulirkan pemerintah. Bila tidak dibarengi dengan ketegasan, bukannya mendapatkan mitra, berkoalisi malah akan mendatangkan musuh dalam selimut yang akan melemahkan jalannya pemerintahan secara perlahan-lahan.
-o0o-
Jakarta, 11 Maret '11
Tulisan ini telah diposkan di Kompasiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar