Penunjuk

Senin, 28 Februari 2011

Pengalaman Membeli Shar-e di Bank Muamalat

   Keinginan saya untuk memiliki rekening di Bank Muamalat pada mulanya disebabkan seringnya saya menonton acara tentang bank syariah di sebuah stasiun televisi swasta nasional yang disponsori oleh Bank Muamalat yang ditayangkan sekali dalam sepekan. Semakin sering saya menonton acara tersebut, keinginan untuk memiliki rekening di bank syariah pertama di Indonesia tersebut semakin bertambah.
   Sebenarnya pada awalnya saya kurang yakin dengan profil bank syariah yang sering ditayangkan di acara tersebut terutama tentang bagi hasilnya. Saya berfikir, paling itu cuma cara bank tersebut untuk menggaet nasabah seperti bank kovensional. Bagi hasil menurut saya hanya istilah lain dari bunga. Biar lebih terkesan halal maka digantilah istilah bunga dengan bagi hasil. Tapi demi memuaskan rasa penasaran saya, akhirnya sayapun membuka rekening dengan cara membeli sebuah produk tabungan di bank syariah terbesar tersebut dengan nama Shar-e.
   Saya mengalami kebingungan saat membeli produk Shar-e tersebut. Produk tersebut saya beli dengan harga Rp 125.000,-. Dengan harga tersebut saya memperoleh sebuah kartu atm Shar-e dan saldo rekening Rp 100.000,-. Yang membuat saya bingung adalah saya tidak diberi buku rekening seperti di bank konvensional pada umumnya dan saldo saya hanya Rp 100.000,- padahal saya menyetor Rp125.000,-. Saya memang tidak menanyakan alasan tidak diterbitkannya buku tabungan kepada pihak bank, sampai sekarang. Untuk mengetahui catatan-catatan transaksi, oleh pihak bank saya diperbolehkan meminta data dari bank dalam bentuk cetakan komputer tanpa dipungut biaya.
   Namun supaya praktis, 4 bulan kemudian saya minta diterbitkan sebuah buku tabungan. Yang memberatkan adalah saya dikenai biaya sebesar Rp25.000,- untuk buku tabungan tersebut. Saya cukup kaget saat saya harus membayar biaya penerbitan buku tabungan tersebut, tapi demi kenyamanan dan kejelasan setiap transaksi yang akan saya lakukan selanjutnya, saya pun harus merelakan lagi Rp25.000,- kedua setelah yang pertama pada saat awal saya membuka rekening dengan cara membeli produk Shar-e tersebut.
   Pada saat saya membuka rekening, biaya administrasi bulanan rekening tersebut sebesar Rp3.500,-  namun sejak Juni 2009 biaya administrasi terebut mengalami kenaikan menjadi Rp7.500,-. Kenaikan yang cukup besar, hampir 100%. Alasan kenaikan tersebut antara lain biaya perawatan mesin atm yang kian tinggi sebab atm Shar-e bisa digunakan di hampir semua mesin atm milik bank lain yang ada di Indonesia tanpa dipungut biaya. Jadi nasabah tak perlu repot mencari atm Bank Muamalat saat memerlukan tarik tunai bila tak didapati atm Bank Muamalat di suatu tempat.
   Kini setelah hampir 2 tahun saya menabung di bank syariah yang mengklaim pertama murni syariah tersebut, saya baru mulai merasakan manfaat mempunyai rekening di bank syariah. Bagi hasil dengan persentase 35 : 65 mulai saya nikmati. Biaya administrasi bisa tertutupi dengan bagi hasil yang saya peroleh setiap bulan. Bahkan kini biaya administrasi sudah tak ditampakkan, yang nampak langsung bagi hasil bersih yakni bagi hasil dikurangi biaya administrasi.
   Bagi hasil di bank syariah lumayan menjanjikan. Saat biaya administrasi Rp 3.500,- dan saldo tabungan sekitar Rp 2.000.000, saya memperoleh bagi hasil sekitar Rp 5.000,- dan saat biaya administrasi Rp 7.500,- dan saldo tabungan sekitar Rp 5.000.000,- bagi hasil yang dibukukan sekitar Rp10.000,-.
   Kini saya merasa lebih yakin akan memperoleh manfaat lebih dari sekedar materi duniawi yakni ketenangan batin. Sebab saya yakin di bank syariah tersebut tidak menginvestasikan dana para nasabah pada jenis-jenis usaha yang tidak dihalalkan dalam syariat Islam.
   Hal lain yang membahagiakan saya adalah saat seseorang memasuki kantor bank syariah tersebut disambut dengan senyuman dan sapaan yang luwes, penuh kekeluargaan dan tidak kaku. Senyum senantiasa menyimpul di setiap bibir pegawai bank syariah tempat saya menabung. Sungguh menyejukkan hati.
   Menabung di bank syariah lahir kuat bathin pun sehat.
-o0o-

Jakarta, 29 Nov '10

Tulisan ini telah diposkan di Kompasiana

Jumat, 25 Februari 2011

Usul Orang Kecil Atasi Kemacetan di Ibukota

   Katanya beberapa tahun ke depan Jakarta akan mengalami kelumpuhan. Lumpuh yang saya tahu artinya tidak bisa berjalan. Sebenarnya yang lumpuh bukan Jakarta-nya tapi kendaraan-kendaraan yang melintasi jalan-jalan di Jakarta karena sudah tak ada ruang lagi yang dapat dilalui. Akibatnya seluruh aktifitas yang dilakukan warga Jakarta akan terhenti karena mobilitas amat sangat lambat. Bayangkan kalau seluruh aktifitas hanya bisa dilakukan secara manual alias jalan kaki karena kendaraan yang tak dapat dijalankan?
   Untuk mengatasi masalah kelumpuhan di Jakarta para pemimpin yang mengaku sebagai ahlinya Jakarta telah melakukan berbagai kebijakan sebagai solusi untuk menangani kemacetan yang kian parah agar kelumpuhan yang diprediksikan tak terjadi. Mulai dari busway, subway, blueline, dan monorel. Dari beberapa jenis transportasi massal tersebut hanya busway yang tergolong berhasil dan masih eksis. Yang lainnya au ah…
   Kalau menurut saya yang orang kecil, penyebab utama kemacetan adalah kendaraan pribadi yang jumlah sudah melewati ambang batas dibandingkan dengan penambahan ruas jalan. Kendaraan pribadi hanya mampu memuat 5 hingga 10 penumpang bila memuat penuh. Sedangkan kenyataannya tak semua kendaraan yang melintas di Jakarta memuat penumpang sebanyak itu. Bahkan lebih banyak yang memuat 1 hingga 5 penumpang.
   Yang jadi pertanyaan mengapa pemilik kendaraan pribadi enggan menggunakan angkutan massal? Saya akan gampang menjawabnya karena saya mengalami setiap hari. Naik angkutan massal itu lebih disebabkan keterpaksaan karena murah bagi orang kecil yang tak punya banyak duit seperti saya. Ya namanya juga murah ya saya harus terima fasilitas apa adanya. Panas, asap kendaraan, naik-turun di sembarang tempat, kebut-kebutan sesama angkutan karena berebut penumpang, ngerem mendadak, memotong jalur untuk mempercepat waktu dan menghindari macet tanpa menghiraukan keselamatan penumpang, nyelonong di pintu rel kereta dan lampu merah, copet-copet yang meresahkan penumpang, dan paling bikin kesal adalah penumpang diturunkan sebelum sampai di tempat tujuan. Orang yang punya kendaraan pribadi mana mau mengalami kesengsaraan seperti itu? Mendingan beli kendaraan pribadi bisa lebih nyaman dan aman.
   Saya yakin, sebenarnya pemerintah mengerti dengan baik akan ketidaknyamanan dan ketidakamanan yang telah saya sebutkan di atas. Maka sebagai orang kecil saya mengusulkan perlunya dipenuhi kenyamanan dan keamanan yang biasa dirasakan oleh para pemilik kendaraan pribadi. Caranya?
   Begini, setiap angkutan massal mulai dari angkot, metromini dan sejenisnya, dan bus kota di wajibkan menggunakan ac. Sopirnya harus benar-benarnya orang yang disiplin sehingga tidak akan melanggar peraturan lalulintas. Setiap kendaraan harus dijaga petugas keamanan seorang untuk angkot dan metromini atau sejenisnya, 2 orang untuk bus kota seorang di bagian depan lainya di belakang. Cukup nyaman dan aman, bukan? Dengan begitu diharapkan para pemilik kendaraan pribadi akan beralih menggunakan angkutan massal, dan meninggalkan kendaraan-kendaraan mereka di rumah.
   Peningkatan layanan tersebut sudah barang tentu akan menimbulkan biaya operasional tinggi bagi penyedia angkutan massal dan untuk menutupinya tentu dengan menaikkan tarif, akibatnya penumpang yang terkena dampaknya. Bagi yang berduit itu tak jadi masalah. Nah bagi yang berpenghasilan rendah bagaimana?
   Kini, sebagai orang yang tak punya banyak uang saya mengusulkan perlunya dinaikkan upah minimum regional (umr). Hehehe… Kenapa umr perlu dinaikkan? Karena umr yang saat ini berlaku sudah tak dapat menutupi biaya hidup minimal di Jakarta dengan kata lain umr sekarang tergolong rendah. Hitung-hitungannya begini, makan 3 kali 5000 selama sebulan 450000, kost sebulan 250000, transportasi pergi-pulang 4000 - 8000 sebulan rata-rata 180000, biaya sanitasi dan lain-lain 150000. Sampai di sini sudah mencapai 1.030.000. Lalu untuk biaya sekolah anak, biaya berobat bila sakit, dan biaya lain yang perlu? Kalau harus menambah pengeluaran untuk transportasi pasti akan memberatkan warga.
   Kembali ke masalah angkutan massal. Jadi agar warga yang berpenghasilan rendah bisa menggunakan angkutan massal yang telah dibuat nyaman dan aman, pemerintah DKI perlu mengeluarkan perda yang mewajibkan para pengusaha untuk menaikkan umr di komponen transportasi. Saya yakin di pemda banyak ahli yang mahir mengkalkulasikan besarnya komponen transportasi pada umr.
   Pada akhirnya semua pengguna rutin angkutan massal akan berbaur dengan para pemilik kendaraan pribadi yang telah beralih ke angkutan massal yang telah nyaman dan aman. Kendaraan pribadi ditinggalkan dan tidak lagi digunakan pada hari kerja  oleh para pemiliknya. Tentu ini akan mengurangi volume kendaraan di jalan-jalan ibukota secara signifikan. Dampaknya Jakarta akan bebas macet apalagi lumpuh total. Gampang kan? Kalau mengusulkan ya memang gampang. Ya namanya juga usul, ya yang gampang-gampang. Itu saja belum tentu gampang dilaksanakan, apalagi usul yang sulit.
   Membingungkan kan usul saya? Saya sendiri juga bingung. Tapi siapa tahu orang pemda ada yang baca usul saya ini lalu mewacanakannya di lingkungan pemda. Kalau direalisasikan kan saya ikut senang sebab penghasilan saya juga naik. Hehehe…
-o0o-

Jakarta, 18 Oktober 2010

Tulisan ini telah diposkan di Kompasiana

Kamis, 24 Februari 2011

Do’aku di Awal Tahun

Ya Allah Yang Maha Penyayang,
lindungilah bangsa kami dari segala musibah dan bencana,
lindungilah hutan-hutan kami dari para penebang liar,
lindungilah pulau-pulau terluar dari klaim kepemilikan negara tetangga,
lindungilah ikan-ikan kami dari pencurian warga asing,
lindungilah sumber daya alam kami dari penjarahan perusahaan asing.

Ya Allah Yang Maha Pengasih,
jauhkanlah makelar-makelar kasus dari instusi-instusi penegak hukum di negeri kami,
jauhkanlah politikus-politikus hitam dari parlemen kami,
jauhkanlah koruptor-koruptor dari proyek-proyek demi rakyat kami,
jauhkanlah teroris-teroris dari ketentraman kami,
jauhkanlah miras, psk, judi, perampok, copet, hipnotis dari keseharian kami.

Ya Allah Yang Maha Mengetahui,
jadikanlah presiden kami seorang pemimpin yang tegas, cepat, berani,
dan tanpa keraguan dalam mengambil keputusan.

Ya Allah Yang Maha Pemurah,
kabulkanlah do’a hamba-Mu yang banyak dosa ini.


Jakarta, 01 Jan '11

Tulisan ini telah diposkan di Kompasiana

Rabu, 23 Februari 2011

Bersungguh-sungguhlah Akan Agama Anda

   Di kompasiana bertebaran artikel tentang agama dengan beragam tema. Dari yang bersifat edukasi hingga yang berpotensi menimbulkan perdebatan. Yang bersifat edukasi tak jadi masalah karena biasanya mengupas tentang internal agama yang -biasanya- hanya kompasianer dari agama tersebut yang lebih tertarik untuk berinteraksi.
   Namun terhadap artikel yang berpotensi menimbulkan perdebatan, kita sebaiknya berhati-hati. Juga diperlukan pemahaman yang mendalam. Bila tidak, kita akan  tergelincir ke dalam ranah perdebatan yang sungguh sia-sia. Alih-alih hendak berdiskusi malah saling caci maki.
   Saya sendiri memilih hanya membaca bila saya tak memahami dengan baik tema sebuah artikel terutama yang bertema agama. Membaca saja sudah cukup.
   Agama bagi saya adalah sesuatu yang amat terhormat karenanya saya harus menghormati agama saya. Berawal dari rasa hormat saya terhadap agama saya, maka saya pun harus menghormati agama orang lain. Cara saya menghormati agama saya yakni dengan tidak membiarkan imajinasi tumbuh liar dalam menggambarkan Tuhan saya dan berhati-hati menyimpulkan perkataan nabi dan firman Tuhan saya. Tuhan dan nabi menurut saya lebih dari yang saya pikirkan. Cara saya menghormati agama orang lain yakni bersikap masa bodoh dengan ajaran mereka sebab saya memang kurang paham akan agama selain agama saya.
   Agama menurut saya adalah sesuatu yang amat dalam dan luas. Karena itu saya merasa kemampuan berpikir saya tak akan mampu menyelaminya selain hanya menurut pada pengetahuan yang turun-temurun sembari memperkaya khasanah saya agar iman yang lebih tipis dari kulit ari yang melekat pada diri saya tidak luntur.
   Bersungguh-sungguh dalam beragama bagi saya amatlah mendasar agar kita tidak berkesempatan mencari-cari kelemahan agama lain. Kita hendaklah berkonsentrasi pada kegiatan peningkatan pemahaman agama kita masing-masing, sehingga tak punya waktu untuk menyerang agama lain.
   Saya bersyukur atas kebodohan saya akan pemahaman agama lain. Kebodohan saya membuat saya akan bersikap netral bila ada pergesekan antar umat beragama walaupun melibatkan orang atau golongan yang seagama dengan saya.
   Saya berharap kompasianer juga bersikap seperti saya sehingga tak akan ada lagi artikel-artikel di kompasiana bertema agama yang berpotensi menimbulkan perdebatan yang bernada permusuhan, biarpun tujuan awal artikel tersebut adalah diskusi.
   Marilah bersungguh-sungguh beragama.
-o0o-

Tasikmalaya, 20 November 2010

Tulisan ini telah diposkan di Kompasiana

Selasa, 22 Februari 2011

Wahai Anggota Dewan, Berkorbanlah Sedikit Demi Rakyat!

   Menjadi anggota dewan memang sungguh nikmat. Bergaji besar dan banyak fasilitas. Bila tersandung masalah hukum mereka pun amat pandai berkilah. Tak salah rakyat memilih mereka karena mereka memang benar-benar pandai. Kepandaian berkilah mereka  kini mereka gunakan untuk menyanggah larangan merokok.
   Tak sedikit anggota dewan yang perokok. Dan tak jarang pula yang merokok di dalam gedung dewan saat sedang dalam rapat. Padahal gedung DPR berlokasi di ibukota yang telah memberlakukan perda larangan merokok. Salah satu area yang termasuk dalam larangan merokok di perda tersebut adalah gedung instansi, dan gedung DPR salah satunya.
   Mereka berlindung di balik tata tertib yang tak melarang anggota dewan merokok di dalam gedung DPR sehingga anggota dewan yang perokok tenang-tenang saja merokok biarpun tengah rapat. Apakah perda lebih rendah tingkatannya daripada tata tertib dewan, sehingga mereka tak mau mematuhi perda?
   Kalau mau berdebat dengan anggota dewan sudah pasti saya akan kalah. Dalam waktu beberapa menit saya akan kelimpungan menghadapi argumen mereka karena saya bukan orang pandai. Jangankan masalah larangan merokok yang enteng, untuk persoalan hukum yang pelik saja mereka amat piawai bersilat lidah. Jadi saya menyerah sebelum berdebat. Tapi karena saya ini seorang rakyat, ya sesekali memohon pengertian dari para anggota dewan terutama yang perokok.
   Gampangnya begini, bagaimana rakyat mau mematuhi aturan kalau para pemimpin sendiri melanggar aturan? Memangnya aturan dibuat hanya untuk rakyat saja?
   Saya tak hendak meminta anggota dewan yang perokok menghentikan kebiasaan merokok, saya hanya ingin mereka mau sedikit berkorban demi rakyat. Kasih contoh kepada rakyat bagaimana mematuhi peraturan. Masa tak merokok saat di dalam gedung atau ketika tengah rapat saja tak bisa? Nanti kan bisa merokok sepuasnya di luar gedung atau di luar sidang.
   Kami butuh bukti bukan janji karena kami sudah kenyang dengan janji sampai-sampai kami sering masuk angin karena janji kalian!
-o0o-

Jakarta, 17 Oktober 2010

Tulisan ini telah diposkan di Kompasiana

Jangan Bawa ke Kompasiana!

   Mata kita sudah amat sering disodori pemandangan yang memalukan, menakutkan, berdarah-darah, dan memilukan dengan vulgar. Perselisihan. Banyak pintu untuk bisa masuk ke pemandangan seperti itu. Televisi, internet, dan media cetak. Setiap hari setiap saat.
   Dengan corak yang berbeda, di kompasiana pun sering dijumpai persilihan yang lumayan vulgar. Baik berupa artikel maupun komentar. Ada yang menulis bertujuan untuk menyerang. Untuk memancing perdebatan urat dalam kata-kata. Bahkan berkomentar untuk memancing kemarahan padahal artikel yang dikomentari tak mengarah ke sana.  Dan lebih memiriskan yakni mencoba mengemukakan kelemahan dan kejelekan agama. Sehingga yang terbaca adalah komentar-komentar yang jauh dari tata krama.
   Mengapa kita tak bosan menciptakan perselisihan padahal tak ada manfaat apapun yang bisa diambil dari perselisihan? Tak teriritasikah mata kita? Ataukah sudah hilang rasa persaudaraan kita? Atau harus menunggu bencana agar persaudaraan kembali dieratkan seperti yang sudah sering kita alami?
   Kita telah ‘hidup’ serumah di kompasiana. Saat awal kita menjadi penghuni kita sering saling menyapa hangat membuat kita merasakan semangat baru. Kita masuk ke rumah ini tentu dengan tujuan baik. Ingin berbagi ilmu, belajar, dan menciptakan persaudaraan lewat tulisan. Haruskah semua itu tercemari oleh ambisi sesaat? Ingin muncul di headline, terpopuler, tertinggi, terbanyak.
   Menjadi nomor satu memang penting tapi lebih penting adalah caranya. Di rumah ini yang kita perlukan adalah kerendahan hati dan saling menghargai. Sebab kita semua mempunyai kelebihan dan kekurangan, juga kelemahan dan kekuatan. Kita seyogyanya saling melengkapi agar tercipta keharmonisan di dalam ‘rumah tangga’ kompasiana.
   Bawalah semua yang positif ke dalam rumah kita ini. Bila negatif jangan bawa ke sini.
-o0o-
Jakarta, 22 November 2010

Tulisan ini telah diposkan di Kompasiana

Senin, 21 Februari 2011

Mengapa Tak Semua Rekening Tabungan Bebas Biaya Administrasi?

   Akhir-akhir ini banyak bank yang berusaha menggaet nasabah baru dengan cara membebaskan biaya administrasi bulanan pada rekening tabungan yang ditawarkan. Dan saya salah satu “korban”nya. Dengan syarat saldo minimal tak kurang dari 100 ribu rupiah saya pun bisa punya rekening tabungan tanpa dipungut biaya administrasi bulanan di sebuah bank swasta nasional.
   Tapi karena saya hidup di perantaun dan setiap bulan saya harus mengirim uang untuk biaya hidup orang-orang yang saya cintai di desa, maka saya pun membuka satu rekening lagi di bank milik pemerintah yang cabang-cabangnya tersebar hingga ke kota kecamatan, untuk mempermudah pengiriman uang tersebut. Tapi saya merasa sayang karena setiap bulan uang saya di rekening ini yang tak banyak jumlah itu pun harus dipotong 9.000 rupiah untuk biaya administrasi. Sebagai orang yang tak punya banyak uang, biaya administrasi sebesar 9.000 rupiah buat saya cukup memberatkan.
   Bank pemerintah yang saya punya rekening itu adalah salah satu bank yang juga menyelenggarakan acara di sebuah stasiun tv swasta nasional. Melihat semaraknya acara dengan menggundang artis-artis terkenal, saya menduga biaya yang dikeluarkan untuk acara tersebut pasti amat besar. Saya menduga lagi biaya itu pasti didapat dari keuntungan pengelolaan uang para nasabah termasuk dari 9.000 rupiah yang dipotong dari setiap rekening tabungan.
   Di pikiran saya lalu mereka-reka, seandainya acara seperti itu tak diadakan pasti saya dan nasabah-nasabah lain akan terbebas dari biaya administrasi sebesar 9.000 rupiah setiap bulan.
Sewajarnyalah bila setiap bank membebaskan para nasabahnya dari biaya administrasi bulanan sebabnya tanpa nasabah, bank tidak akan bisa beroperasi karena tak ada dana yang dapat dikelolanya. Keuntungan dari pengelolaan dana para nasabah sudah cukup besar, buktinya bank bisa menyewa gedung-gedung untuk kantor-kantor cabangnya dan bisa menyelenggarakan acara-acara yang tak sedikit memakan biaya.
   Seandainya pihak bank lebih bijak dalam menggunakan keuntungan, hasil dari pengelolaan dana para nasabah, pasti setiap nasabah tak perlu dibebani dengan biaya administrasi setiap bulanan seperti bank-bank yang sedang mempromosikan rekening bebas biaya bulanan. Termasuk saya yang tak punya banyak uang.
    Semoga…
-o0o-

Jakarta, 11 Oktober 2010

Minggu, 20 Februari 2011

Bayarlah WC Umum Tak Terawat dengan Uang Kertas Kumal

   Setiap orang yang melakukan perjalanan jauh dapat dipastikan akan menyempatkan diri ke toilet atau wc umum saat berhenti di tempat peristirahatan atau rumah makan dan terminal, untuk berhajat, buang air kecil, atau sekedar cuci muka untuk menghilang rasa kantuk.
   Namun wc-wc umum yang disediakan oleh pengelola banyak yang dalam keadaan tak terawat. Jorok, bau yang tak sedap, pintu yang rusak, dan tempat air kotor, apalagi wc umum yang berada di terminal. Setiap orang yang menggunakan biasanya dengan terpaksa karena tak dapat menahan berhajat dan buang air kecil yang tertahan selama perjalanan.
   Tarif wc umum memang relatif murah. Biasanya 1000 rupiah untuk berhajat dan buang air kecil dan 2000 rupiah untuk mandi. Namun bila dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan pihak pengelola untuk setiap pengguna wc, pihak pengelola sudah memperoleh untung yang lumayan besar. Berapa harga 3 - 10 gayung air, atau 1/2 - 1 bak yang berhajat atau mandi? Mungkin sekitar 300 atau 500 rupiah, apalagi kebanyakan air yang disediakan di wc umum bersumber dari air tanah tentu lebih murah lagi bahkan tak membayar untuk mendapat air tersebut.
   Melihat banyaknya kondisi wc umum yang tak terawat ada baiknya bila pengguna wc menyediakan uang kertas pecahan 1000 atau 2000 yang kumal dan rusak untuk membayar jasa wc. Ini bertujuan sebagai bentuk protes kepada pengelola yang kurang atau tidak mempedulikan kebersihan wc yang dikelolanya. Dan bila penjaga wc protes maka gunakanlah kesempatan itu untuk mengeluhkan kondisi kebersihan wc yang tak terawat itu.
   Mungkin dengan banyaknya pengguna wc umum yang membayar dengan uang kertas kumal dan rusak serta banyaknya keluhan yang disampaikan kepada penjaga wc, pihak pengelola akan tergugah untuk lebih memperhatikan kebersihan wc yang dikelolanya, tidak mementingkan keuntungan semata. Sehingga kita sebagai pengguna akan merasa nyaman.
   Mulailah dari sekarang bayarlah jasa wc yang tak terawat dengan uang kerta kumal dan rusak. Semoga berhasil.

Jakarta, 19 September 2010

Tulisan ini telah diposkan di Kompasiana

Kenapa Harus dengan Kembang Api dan Terompet?

   Malam pergantian tahun tak bisa dipisahkan dari kembang api dan terompet. Dua benda ini seakan telah benar-benar melekat dengan malam pergantian tahun. Dua barang tersebut bak kacang goreng, ludes terjual untuk merayakan datannya tahun baru. Kenapa harus dengan kembang api dan terompet untuk merayakannya?
   Kenapa tidak dengan berdoa agar di tahun yang akan datang kita terhindar segala marabahaya dan bencana alam? Berdo’a di tempat peribadatan sesuai agama dan keyakinan masing-masing, sebab bangsa kita telah berkali-kali terseret kedalam kesengsaraan yang memilukan. Berdo’a di masjid bagi umat Islam, di gereja untuk umat Kristen, di wihara bagi yang Budha, dan di pura untuk yang Hindu.

31 Des '10

Tulisan ini telah diposkan di Kompasiana

Sabtu, 19 Februari 2011

Ayo, Alihkan Uang Rokok Buat Susu

   Merokok bagi banyak orang adalah kebiasaan yang mengasyikkan namun tak sedikit pula yang membenci rokok. Mengasyikkan dan membenci itu soal hak. Dan Anda bebas memilih yang mana saja.
    Bila ditilik dari segi ekonomi, merokok sebenarnya merugikan. Berapa uang yang harus dibelanjakan untuk membeli rokok? Yang berpenghasilan menengah ke atas mungkin tak jadi masalah. Namun bagaimana dengan mereka yang berpenghasilan pas-pasan apalagi bagi yang berpenghasilan tak menentu? Yang pas-pasan dan tak menentu mungkin tak jadi masalah bila masih lajang. Bagaimana bila sudah berumahtangga.
    Mereka yang berpenghasilan pas-pasan dan tak menentu bisa jadi uang yang dialokasikan untuk rokok lebih besar daripada untuk kebutuhan keluarga. Padahal anak istri makan ala kadarnya tanpa memperhatikan asupan gizi pada makanan yang dikonsumsi. Namun menyadari atau tak menyadari keadaan ini seperti dibiarkan
    Seandainya belanja rokok sebesar 6000 rupiah lalu dialihkan untuk membeli susu, maka setiap keluarga di Indonesia akan dapat minum setiap hari. Kandungan gizi pada susu amat baik untuk pertumbuhan dan kecerdasan pada anak, baik untuk kesehatan ibu hamil dan menyusui, juga baik untuk stamina bagi para pekerja keras seperti kebanyakan masyarakat kita.
    Karena itu mari kita dukung kampanye anti tembakau dan rokok.
    Rokok no susu yes!
-o0o-

Tulisan ini telah diposkan di Kompasiana

Jumat, 18 Februari 2011

Cara Nikmat Merokok di Tempat Umun

   Sebagai mantan perokok, saya mempunyai cara agar merokok di tempat umum lebih terasa nikmat dan tak mengganggu orang-orang di sekitarnya.
   Bila Anda seorang perokok dan suka merokok di tempat umum, di kendaraan umum, dan di area yang terdapat peringatan dilarang merokok, anda harus mencoba cara merokok yang akan saya uraikan di bawah ini agar Anda memperoleh sensasi nikmatnya merokok.
   Berikut cara-caranya: 1) nyalakan terlebih dahulu rokok kesukaan Anda di salah satu tempat seperti yang saya sebutkan di atas, 2) lalu hisap pelan-pelan asapnya sebanyak yang anda biasa hisap, 3) jaga agar tak ada sedikit pun asap yang keluar dari mulut anda, 4) lalu hirup asap yang telah terkumpul melalui hidung, semakin pelan semakin nikmat, 5) bila cara ke-4 tak mampu Anda lakukan, Anda bisa melakukan dengan cara menelan asap yang telah berada di mulut, ingat harus dengan pelan karena semakin pelan akan semakin nikmat.
   Dengan cara-cara tersebut, Anda tak perlu khawatir dengan orang-orang di sekitar Anda yang tak merokok karena mereka tak akan terganggu oleh asap rokok dari Anda.
    Selamat mencoba. Semoga Anda memperoleh kenikmatan dan sensasi yang tiada tara. Semoga.

Jakarta, 28 Oktober 2010

Tulisan ini telah diposkan di Kompasiana

Saya Penduduk Negeri Setengah Tiang

   Setelah usia saya 36 tahun, saya baru menyadari ternyata saya hidup di sebuah negeri setengah tiang. Saya menyebut negeri saya ini negeri setengah tiang karena setahu saya saat negeri sedang dalam suasana berkabung biasanya bendera dikibarkan setengah tiang. Jadi maksud saya dengan negeri setengah tiang adalah negeri saya ini selalu -paling tidak sering- dalam keadaan berkabung.
   Sebab berkabungnya negeri saya banyak macamnya. Pertikaian sesama warga, sesama pemeluk agama, dan antar pemeluk agama. Pertikaian antar suku, penduduk lokal dan pendatang, dan antar perkumpulan. Juga pertikaian sesama pelajar lain sekolah, sesama mahasiswa sekampus lain fakultas, dan antar mahasiswa lain kampus. Pertikaian-pertikaian ini tidak jarang yang memakan korban jiwa.
   Kemudian keonaran-keonaran yang disebabkan oleh ormas-ormas beringas yang merasa paling benar dan merasa berhak mengatur jalannya peraturan-peraturan seolah-olah negeri ini tak mempunyai aparat penegak hukum. Mereka kerapkali menghakimi suatu golongan bersalah dan seolah-olah tak berhak menghirup udara di negeri saya sebelum golongan ini mengikuti jalan pikiran mereka.
   Sebab berkabungnya negeri yang lainnya yakni maraknya tindak pidana korupsi. Sejak sebuah rezim otoriter berhasil digulingkan, tindak pidana korupsi dilakukan dengan lebih berani, secara massal dan terang-terangan. Alih-alih ingin menata negeri lebih baik, kini malah kian amburadul. Tak terhitung sudah para pelaku tindak pidana korupsi yang kabur ke negeri orang karena tak berfungsinya sistem pengamanan bagi para napi dan tahanan dengan baik. Tak terhitung pula uang negeri saya yang menguap entah kemana.
   Banyaknya aparat penegak hukum yang mudah disuap juga menjadi salah satu penyebab negeri saya berkabung. Bayangkan, mereka yang diharapkan bisa menjadi pendekar-pendekar dalam penegakan hukum malah seperti macan ompong bila disodori segepok uang. Semestinya merekalah yang bertugas menjebloskan para pesakitan di ruang sidang, tapi malah mereka ikut-ikutan menjadi pesakitan. Benar-benar sakit!
   Dan saat ini negeri saya sedang dikentuti oleh seorang koruptor yang selalu cengengesan bila ditanyai pemburu warta. Beberapa hakim, jaksa, dan polisi yang seharusnya bekerja sama untuk memotong lehernya, malah berhasil disuap. Mungkin karena jumlah uang yang dikorupsi mampu untuk menghidupi tujuh turunan.
   Kini yang tengah menghangat ialah kasus TKI. Ini bukan lagi sekedar membuat negeri saya berkabung namun juga merendah harga diri sebagai sebuah bangsa. Sumiati menjadi TKI yang kesekian yang mengalami penyiksaan. Kimkim menambah kian panjang daftar TKI-TKI yang pulang ke tanah air hanya berupa jasad yang telah beku. Permasalahan mereka sering menjadi bahan perbincangan lalu kian hilang dari ingatan hingga kemudian muncul kembali ke permukaan. Sebuah lingkaran yang tak pernah berkesudahan.
   Saya sebenarnya ingin menambah lebih banyak lagi penyebab berkabungnya negeri saya seperti nasib petani yang tak pernah beranjak karena hasil pertanian tak bisa menutupi biaya pengelolaan dan perawatan lahan dan tanaman. Anak-anak yang kurang gizi dan makan. Bencana alam yang menimpa secara beruntun. Dan entah apalagi.
   Entah sampai kapan saya menjadi penduduk negeri setengah tiang ini. Pemangku tahta negeri telah berganti berkali-kali namun mereka tak membawa perubahan berarti. Padahal dulu -menurut para tetua- negeri saya ini amat disegani karena kepemimpinan nan gagah berani.
   Semoga suasana berkabung ini akan segera berlalu walaupun saya tak mengalami.
-o0o-

Jakarta, 23 November 2010

Tulisan ini telah diposkan di Kompasiana

Kamis, 17 Februari 2011

Tunjukkan Keseriusan Pemberantasan Korupsi Sekarang

  Sampai saat ini kasus Gayus masih menyita perhatian masyarakat dari berbagai lapisan.  Media-media pemberitaan pun masih diramaikan oleh gaung kasus Gayus. Yang terakhir adalah kasus pemalsuan paspor dengan nama samaran Sony Laksono dan menghabiskan biaya sekitar 1 milliar, yang dilakukan oleh Gayus agar dia bisa leluasa bepergian ke luar negeri.
  Sebelumnya, Gayus dikabarkan berada di Bali sedang menonton turnamen tenis padahal dia sedang  menjalani masa tahanan  di rutan Mako Brimob. Seorang wartawan olahraga berhasil mengabadikan seseorang yang memakai wig dan berkacamata mirip Gayus berada diantara penonton turnamen tenis tersebut. Awalnya kebenaran foto tersebut  disangkal oleh Gayus walaupun pada akhirnya dia mengakui bahwa foto yang telah tersebar ke berbagai media tersebut adalah dirinya.
  Kalau diperhatikan lebih seksama, sejalan dengan perkembangan kasusnya, Gayus semakin berani melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum, setelah kasus korupsi yang sanggup memaksa presiden menggelar rapat kabinet dadakan di Halim, mencuat ke permukaan dan menjadi perhatian serius aparat penegak hukum khususnya, dan masyarkat pada umumnya.  Setelah divonis bebas oleh PN Tangerang, Gayus langsung ngacir ke Singapura. Vonis bebas tersebut, belakang diketahui karena adalah rekayasa dakwaan yang diduga dimotori oleh seorang jaksa yang namanya cukup dikenal setelah menuntut hukuman mati mantan ketua KPK.
    Setelah ‘secara tak sengaja’ satgas menemukan Gayus di sebuah rumah makan dan berhasil ‘membujuk’ Gayus agar kembali ke tanah air, maka Gayus resmi ditahan. Namun penahanan terhadap diri Gayus tak membuat dia terisolasi, malah sebaliknya, ia bisa dengan leluasa bepergian layaknya warga yang tak berstatus sebagai tahanan. Dengan uang puluhan  juta dari hasil korupsi pajak, dia mampu memperdaya beberapa petugas rutan agar dirinya bisa leluasa menghirup udara di luar tahanan, bahkan bisa bepergian hingga ke luar negeri, seperti Malaysia dan Singapura.
    Kemungkinan besar Gayus tidak bertindak sendirian. Beberapa indikasi itu telah muncul ke ranah publik. Mungkin karena itulah dengan tenang, pelanggaran-pelanggaran hukum dia lakukan layaknya sebuah permainan. Dan satu persatu mulai terkuak. Melihat kemungkinan adanya orang-orang yang berpengaruh di republik ini ikut andil pada kasus Gayus, keberanian ekstra diperlukan dalam menangani kasus yang telah menghebohkan tersebut, dari institusi-institusi penegak hukum sehingga akan muncul tuntutan yang berani seperti menghukum mati Gayus.
   Beberapa hal yang membuat Gayus layak dihukum mati antara lain nilai korupsi yang fantastis, dilakukan di tengah penderitaan rakyat karena bencana alam, berani melakukan berbagai pelanggaran hukum saat dalam penahanan dengan menyuap aparat, yang paling penting agar dia mau bersuara untuk membuka siapa saja yang terlibat, dan bisa menjadi semacam terapi kejut bagi para koruptor lain agar menghentikan aksinya, juga bisa menjadi peringatan bagi calon-calon koruptor agar mengurungkan niatnya.
   Bila pemerintah mau serius dalam pemberantasan korupsi, inilah momentum yang tepat untuk melakukan gebrakan yang berarti, sebab institusi pemberantas korupsi sekaliber KPK pun sudah tak ditakuti lagi oleh para koruptor. Sekaranglah waktu yang tepat untuk ‘menghajar’ koruptor. Untuk menunjukkan betapa pemerintah sangat serius dalam melakukan upaya pemberantas korupsi. Masyarakat akan percaya keseriusan pemerintah bila penyelesaian kasus Gayus berakhir dengan vonis mati terhadap Gayus.
   Tanpa adanya hukuman mati bagi koruptor, memberantas korupsi adalah sebuah mimpi.
-o0o-

Jakarta, 14 Januari 2011

Tulisan ini telah diposkan di Kompasina

Punya Mobil Ya Punya Garasi

   Nada tulisan ini nada protes bagi yang punya mobil, tapi tidak semua yang punya mobil saya protes, protes ini saya tujukan bagi pemilik mobil tapi tak punya garasi di rumahnya. Protes saya ini bukan karena merasa iri lantaran saya tak punya mobil tapi lebih pada mengharapkan rasa saling pengertian sesama warga.
    Sudah bukan pemandangan baru bagi saya dan juga warga ibukota yang lain, -mungkin juga di kota-kota lain, kalau setiap malam di jalan-jalan di pemukiman terpakir mobil pada bagian jalan di depan rumah pemilik mobil. Akibatnya jalan-jalan menjadi sempit. Bagi para pemilik mobils, sempitnya jalan tersebut mungkin tak jadi soal karena biasanya mereka tak keluar rumah lagi saat mobil mereka diparkirkan. Mereka bisa menyuruh pembantu bila mereka memerlukan sesuatu di luar rumah. Tetapi bagi yang tak punya mobil, jalan yang telah sempit oleh mobil-mobil yang diparkir menjadi masalah. Kami kurang leluasa menggunakan jalan.
    Apalagi bagi orang seperti saya yang sering jalan kaki lantaran tak punya alat transportasi sendiri. Saya harus berhenti dan menepi dulu menunggu mobil atau motor yang mau melewati saya, baik yang datang dari belakang maupun dari depan saya, bila sampai di bagian jalan dimana mobil diparkir. Saya terpaksa mengalah kalau tak mau ada masalah. Padahal kalau jalanan lapang saya bisa berjalan dengan asyik sambil melamun atau bersenandung. Iya kan?
    Harapan saya tulisan ini dibaca juga oleh para pemilik mobil tapi tak punya garasi di rumahnya yang setiap malam memarkirkan mobilnya di jalan di depan rumahnya, di mana saja mereka tinggal. Syukur-syukur banyak pembaca yang tinggal di daerah saya tinggal. Semoga setelah membaca tulisan ini mereka menjadi sadar bahwa memarkirkan mobil di jalan umum pada malam hari amatlah mengganggu para pengguna jalan.
    Punya mobil ya harus punya garasi.
-o0o-


Jakarta, 13 Oktober 2010

Tulisan ini telah diposkan di Kompasiana

Rabu, 16 Februari 2011

Mengapa Belum Ada Koruptor Dihukum Mati di Indonesia

   Pertanyaan yang saya jadikan judul amat mudah dijawab. Jawabannya karena setiap koruptor sudah bisa dipastikan akan menjerat banyak aparat penegak hukum dengan menggunakan hasil korupsinya sebelum dirinya terjerat hukum.
   Untuk mengamankan dan menyamankan dirinya, biasanya seorang koruptor akan ‘berbagi hasil’ dengan para aparat yang akan bersinggungan dengannya. Mulai dari polisi, jaksa, dan hakim. Ini sebenarnya semacam kiat agar kelak bila dirinya tertangkap hingga menjadi terdakwa, ia dapat memanfaatkan rasa hutang budi para aparat yang ikut merasakan uang hasil korupsi.
    Para oknum polisi, jaksa, dan hakim akan bekerja sama agar dalam persidangan koruptor tersebut dihukum ringan atau bahkan diputus bebas. Para oknum polisi biasanya akan menjerat koruptor tersebut dengan pasal yang menimbulkan dakwaan para oknum jaksa menjadi kabur, kemudian para oknum hakim akan kesulitan memutuskan vonis sehingga yang terjadi si koruptor divonis ringan atau bahkan bebas.
    Para oknum polisi, jaksa, dan hakim merasa sangat khawatir akan nyanyian si koruptor dalam persidangan bila ia dituntut hukuman mati. Karenanya mereka akan bahu-membahu untuk mengatasi nyanyian tersebut. Dalam hal ini contoh yang paling aktual adalah pada persidangan kasus Gayus di pengadilan negeri Tangerang yang menvonis bebas Gayus.
    Jadi meskipun dampak dari korupsi lebih sistemik daripada teroris dan narkoba tapi sampai saat ini belum ada satupun pelaku korupsi di Indonesia yang dihukum mati walaupun nilai korupsinya amat fantastik. Padahal bila ditinjau lebih jauh, korupsi lebih terencana ketimbang pembunuhan berencana atau sama terencananya dengan aksi teroris dan peredaran narkoba. Korupsi juga menimbulkan dampak menyengsarakan  dan bahkan mematikan seperti halnya teroris dan narkoba.
    Sebab lain tidak adanya koruptor yang dihukum mati di Indonesia adalah masih minimnya jumlah aparat penegak hukum yang punya keberanian dalam pemberantasan korupsi. Mereka tak berdaya menghadapi tekanan-tekanan di institusinya masing-masing sehingga mereka selalu kalah dalam memperjuangkan keyakinan dan argumen-argumennya demi menghukum mati koruptor karena kekuatan yang tak seimbang.
    Menghukum mati koruptor di Indonesia sepertinya masih menjadi sebuah mimpi.

Jakarta, 15 Desember 2010

Tulisan ini telah diposkan di Kompasiana
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...